Hari raya tahun ini cukup membawa angin segar. Selain keluarga bisa kumpul dengan formasi hampir lengkap di rumah (minus satu anggota), juga dapat menjalin silaturahmi dengan sanak saudara. Baik yang ada di jangkauan terdekat, hingga yang jauh dari pandangan mata sekalipun.Â
Meski pendapatan tahun ini minim, juga tidak adanya tunjangan hari raya (THR), ketenangan dan kesenangan di hati tetap terasa dan menyala. Idul fitri kali ini terasa hampir biasa saja, justru hati lebih merasa sedih dan kehilangan setelah ditinggal ramadan pergi. Bahkan, sepulang dari masjid usai melaksanakan shalat ied, aku masih merasa seperti hari biasa. Bahagia sudah pasti, itu tetap ada, - menyambut hari raya dengan riang gembira. Pun demikian tradisi maaf-maafan bareng keluarga, terjalin tertib.
Entah, kaki terasa berat ketika diajak melangkah ke luar rumah. Ada hal yang seolah menjadi sebuah 'ketakutan'. Oleh karenanya di hari lebaran sama sekali tidak keluar rumah. Baru di hari kedua bulan Syawal aku memutuskan untuk pergi. Itupun karena diajak Mama pulang kampung, menjenguk sanak saudara.
Ada dua alasan yang membuatku akhirnya memutuskan untuk keluar. Pertama, karena Mama yang mengajak kita untuk pulang. Tentu, di momen lebaran ini aku nggak mau menolak ajakan beliau, terlebih menyakiti hatinya, apalagi kita baru saja bermaaf-maafan. Kedua, karena memang ada beberapa tujuan yang hati inginkan untuk disinggahi. Sejauh itu, hati cukup antusias, merasa senang untuk berjumpa dengan keluarga di kampung halaman.
Sebenarnya, ada luka yang kadang membuatku menarik diri untuk tidak ikut bertemu dengan beberapa orang. Karena beberapa hal yang nggak sejalan dengan prinsip, serta perkataan-perkataan yang sulit diterima oleh hati. Â Seiring berjalannya waktu, perjalanan dan pengalaman memberikan pandangan, bahwa sejatinya kita lah yang menjadi pengontrol diri. Oleh karenanya aku memutuskan untuk berani bertemu kembali dengan orang-orang tersebut, Â dan menerapkan gaya hidup 'merespon seperlunya'.
Gaya hidup ini aku terapkan agar hati maupun jiwa tetap waras dan tenang di tengah gempuran banyaknya pertanyaan dan sindiran, baik yang dilontarkan secara halus maupun secara terang-terangan. Sejauh ini, silaturahmi di hari raya kali ini masih sehat, membuat hati tenang dan nyaman, serta tidak banyak lagi kode-kode durjana yang membuat hati nggak nyaman sebagaimana sebelum-sebelumnya.Â
Mungkin, mereka kapok kali ya dengan sikapku yang cuek dan hanya melempar senyum taat kala mereka menyindir dan bertanya akan hal-hal yang tidak perlu dipertanyakan.
Hal-hal demikian bisa merusak suasana hati dan menguras emosi. Kita yang tadi datangnya dengan riang gembira untuk bersilaturahmi, tiba-tiba nggak mood karena hal sepele. Silaturahmi yang harusnya menjadi ladang pahala, malah jadi ladang dosa. Oleh karenanya perlu sekiranya kita untuk 'membatasi diri' dengan merespon seperlunya. Namun, bukan berarti acuh terhadap suasana kumpul keluarga. Memilah mana yang harus diambil dan dimasukkan di hati, lalu membuang hal-hal yang tidak menyehatkan hati maupun mental. Termasuk menjaga mata dan hati agar tidak sakit saat melihat pencapaian orang yang jauh di atas kita. Pun demikian, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Terkadang hanya merespon dengan sebuah senyuman saja, bahkan tidak jarang pula cuek (pura-pura nggak dengar).Â
Dengan gaya hidup ini, aku merasa jauh lebih tenang dan nyaman, terlebih saat kumpul berjumpa sanak saudara yang bisa dibilang setahun sekali tatap muka. Alhamdulillah, saat pulang kampung kemarin, meski hanya singgah beberapa saat, karena banyak tempat yang disinggahi. Hampir semuanya memberi kesan nyaman dan tenang, mungkin salah satu efek menerapkan gaya hidup 'merespon seperlunya'.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI