Mohon tunggu...
Bayu Gustomo
Bayu Gustomo Mohon Tunggu... .................? -

Peace & Respect

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kedai "Coretan Ampas Kopi" Libur

20 September 2018   09:30 Diperbarui: 20 September 2018   10:02 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kedai "Coretan Ampas Kopi" Libur.

"Terhitung mulai hari ini, Kamis Pon 20 September 2018 sampai 3 (tiga) hari ke depan, Kedai 'Coretan Ampas Kopi' sementara libur. Mulih menyang deso. Atas perhatian kami ucapkan terimakasih!" Tertanda, Tatag Trengginas Ing Kabecik'an dan Sekarningtyas. Kabar yang tertulis pada selembar kardus bekas mie instan. Ditulis dengan spidol tinta warna hitam. Tulisannya rapi. Bisa dipastikan tidak mungkin Mas Tatag yang menulis pemberitahuan itu. Sebab apa? Tak perlu untuk diceritakan ulang tentang latar belakang Mas Tatag. Itu saja cukup. Kemungkinan besar itu adalah tulisan tangan istrinya. Ya sementara memang itu saja yang bisa saya terka. Mbak Sekarningtyas, wanita yang sudah lebih dari 9 tahun mendampingi hidup Mas Tatag. Lalu tentang bagaimana awal mereka bisa bertemu, bisa saling kenal hingga kemudian menikah, sungguh sesuatu yang tak perlu diceritakan dalam edisi kali ini. Sebab  tidak akan cukup dalam satu paragraf. Karena cerita ini juga tak akan lebih dari satu paragraf. Singkatnya. Rumah tangga dalam bahtera kecil itu kini sudah dianugerahi anak kembar semuanya berkelamin laki-laki. Tanggap Trengginas Ing Kabecik'an dan Tansah Trengginas Ing Kabecik'an. Nama yang tergolong unik untuk anak jaman sekarang. Namun dari masing-masing nama itu sama-sama tersemat sebuah do'a dan harapan. Semoga   memiliki respon tinggi dan selalu konsisten dalam kebaikan kepada siapa saja. Itulah kesimpulan makna dari nama kedua bocah lelaki kembar tersebut. Mas Tatag dan Mbak Sekar memang tak ingin meninggalkan jejak keindonesiaannya. Tak berkeinginan menyematkan nama pada keturunan mereka tanpa ada unsur Nusantara di dalamnya. Nama mereka berduapun juga sangat Indonesia sekali. Bahkan dalam keseharianpun mereka tetap membiasakan komunikasi dengan anak menggunakan bahasa Jawa. Mas Tatag dan Mbak Sekar adalah orang Jawa, tetap memiliki kewajiban menjaga dan melestarikan bahasa daerah. Dan kini keluarga kecil itu pulang kampung.  "Mas Tatag rindu desanya, ingin menziarahi makam para leluhur, makam Bapak dan Ibunya, mendo'akan arwah para mendiang-mendiang yang pernah berjasa dalam hidupnya. Mas Tatag rindu suasana pagi di desanya. Suasana siang di desanya. Suasana sore di desanya. Suasana malam di desanya. Rindu citarasa kopi di warung kopi di desanya. Rindu berbincang dengan sanak famili. Rindu bersenda gurau dengan teman sejawat. Rindu berbagi cerita di warung kopi di desanya. Rindu mengudap jajanan desa. Mas Tatag rindu pada suara kicau burung-burung liar. Rindu hamparan padi nan hijau terbentang di sawah. Rindu angin sepoi-sepoi di desanya. Rindu akan suara bacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dari surau di desanya. Rindu akan suara bocah-bocah menyenandungkan syair puji-pujian dan lantunan Sholawat. Rindu suasana yang takkan pernah bisa dibeli oleh apapun juga". Berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang membuat Mas Tatag sekeluarga pulang kampung malah terlintas dalam benak pikiran saya. Berhamburan. Berkeliaran. Melempar imajinasi tentang kedamaian hidup di desa. Apalagi tatkala malam hari. Lebih-lebih ketika hujan deras baru saja usai mengguyur malam. Sebuah kesunyian panjang berharmoni dengan simponi malam. Suara katak saling bersahutan. Di saat bersamaan jangkrikpun tak mau ketinggalan untuk turut andil meramaikan pagelaran orkhestra alam. Oh damai terasa. Namun apapun itu yang jelas Mas Tatag tak ingin memutus sebuah rantai silsilah. Darimana ia berasal. Dengan sedari dini mungkin mulai mengenalkan tanah kelahiran pada kedua anaknya. Agar runutan dari mana asal muasal tidak terpenggal oleh kesibukan duniawi yang semakin ke sini hanya memburu materi. Mas Tatag tak ingin keluarganya ditimpa suatu keadaan yang sering disebut dengan kata 'Kepaten Obor'. Sebuah istilah atau ungkapan Jawa. Berasal dari jaman kuno. Kepaten obor adalah kondisi di mana telah terjadi putusnya tali silahrurahmi. Seringkali terjadi karena runtutan sejarah tentang silsilah keluarga sudah tidak jelas lagi. Dan akhir-akhir ini keadaan itu memang acapkali terjadi. Seabrek kesibukan. Berjubal-jubal kebutuhan. Segudang persoalan. Kerap dijadikan alasan dan kendala hingga akhirnya kondisi kepaten obor tak terhindarkan. Generasi tua lalai memberi penjabaran tentang silsilah asal muasal pada generasi selanjutnya. Lupa bahwa silaturahmi dan persaudaraan ibarat api obor yang sudah tersulut harus  dijaga agar tetap menyala jangan sampai padam. Dan bertambah parahnya lagi generasi muda malah tak mau ambil pusing. Menganggap hal semacam itu adalah sesuatu yang lumrah saja. Pungkas cerita. Saya segera bergegas mengayuh sepeda lagi. Beranjak meninggalkan kedai Coretan Ampas Kopi yang saat ini sedang libur. Karena pemiliknya sedang mulih menyang deso.

...End...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun