Hampir Membeli, Tapi Urung
Tahun 2022 lalu, ketika masih duduk di bangku SMA, saya hampir menjadi pengguna motor listrik. Saat itu, pemerintah gencar mempromosikan kendaraan listrik dengan berbagai insentif, termasuk potongan pajak dan subsidi yang cukup menggiurkan. Melihat iklan motor listrik dengan harga diskon yang menarik, saya mulai membandingkan berbagai pilihan dan hampir memutuskan untuk membeli. Namun setelah riset lebih dalam, saya mengurungkan niat tersebut. sekarang, sebagai mahasiswa Teknik Mesin yang sehari-hari mengendarai Yamaha Aerox ke kampus, saya semakin memahami mengapa keputusan saya waktu itu ternyata cukup rasional. Waktu itu saya membandingkan spesifikasi, harga, dan biaya operasional berbagai merek motor listrik yang mulai menjamur di pasaran. Hasilnya? Saya membatalkan rencana pembelian dan beberapa tahun kemudian memilih membeli Yamaha Aerox yang saya gunakan hingga hari ini. Bukan karena motor listrik tidak menarik, tetapi karena ada satu pertanyaan mendasar yang belum terjawab: bagaimana jika saya kehabisan baterai di tengah jalan, sementara stasiun pengisian daya masih sangat jarang ditemukan di daerah saya.
Pengalaman hampir membeli motor listrik saat SMA ini membuat saya merenung sesaat tentang transisi energi di sektor transportasi Indonesia, terutama kini setelah saya kuliah di Teknik Mesin. Sebagai calon engineer, saya memahami bahwa kendaraan listrik adalah masa depan yang tak terhindarkan. Namun, sebagai konsumen biasa yang hidup di kota seperti Semarang, saya merasakan langsung kesenjangan antara visi pemerintah dengan realitas infrastruktur yang ada. Di satu sisi, kampanye "Go Green" dan ancaman perubahan iklim mendorong kita untuk segera beralih ke energi terbarukan. Di sisi lain, kenyamanan dan kepraktisan kendaraan konvensional masih sulit untuk ditandingi dalam kehidupan sehari-hari. Dilema ini, saya yakin, tidak hanya saya yang merasakannya, tetapi juga ribuan pengguna kendaraan bermotor lainnya di Indonesia.
Pertarungan Teknologi: Efisiensi vs Kepraktisan
Dari perspektif teknis, kendaraan listrik jelas unggul dalam banyak aspek. Motor listrik memiliki efisiensi konversi energi hingga 90 persen, jauh melampaui mesin pembakaran dalam yang hanya mencapai 20-30 persen efisiensi. Biaya operasional per kilometer juga jauh lebih murah menurut pendapat saya, mengisi daya baterai motor listrik untuk jarak 100 km hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 2.000-3.000, bandingkan dengan Rp 15.000-20.000 untuk bensin pada motor konvensional dengan konsumsi 38-40 km/liter. Perawatan motor listrik pun lebih sederhana karena tidak memerlukan ganti oli, servis karburator, atau penggantian komponen mesin yang rumit. Secara teori, ini adalah penghematan yang sangat signifikan dalam jangka panjang.
Namun, kepraktisan adalah cerita yang berbeda. Aerox saya bisa diisi penuh dalam lima menit di SPBU mana pun, dengan jangkauan ratusan kilometer tanpa kekhawatiran. Sementara itu, motor listrik membutuhkan waktu pengisian 2-4 jam untuk baterai penuh, dan jarak tempuhnya rata-rata hanya 60-80 km per charge untuk kelas yang terjangkau. Infrastruktur pengisian daya masih menjadi masalah krusial di Semarang, saya hampir tidak pernah melihat charging station publik yang mudah diakses seperti SPBU konvensional. Bayangkan jika Anda harus pergi ke luar kota atau mudik ke kampung halaman dengan motor bensin, Anda tinggal isi penuh dan jalan; dengan motor listrik, Anda harus merencanakan rute berdasarkan lokasi stasiun pengisian yang mungkin bahkan tidak ada di sepanjang perjalanan. Ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga kesiapan ekosistem pendukungnya.
Aspek performa juga patut dipertimbangkan. Motor sport seperti Aerox menawarkan akselerasi yang responsif, kecepatan maksimal yang tinggi, dan sensasi berkendara yang sudah familiar bagi jutaan pengendara Indonesia. Motor listrik memang memiliki torsi instan yang mengesankan di kecepatan rendah, namun banyak model yang dijual di Indonesia masih terbatas pada kategori skuter dengan performa standar. Bagi sebagian pengguna, terutama yang terbiasa dengan motor sport atau performa tinggi, ini bisa menjadi kompromi yang sulit diterima. Belum lagi masalah daya tahan baterai yang menurun seiring waktu setelah 3-5 tahun, kapasitas baterai bisa turun hingga 20-30 persen, dan biaya penggantian baterai masih relatif mahal. Sementara mesin konvensional, dengan perawatan yang baik, bisa bertahan 10-15 tahun atau bahkan lebih dengan performa yang stabil.
Dari segi harga awal, kendaraan listrik memang mulai kompetitif berkat insentif pemerintah. Namun, ketika insentif itu berakhir atau dikurangi, harga jual kembali naik dan daya tariknya menurun. Total Cost of Ownership (TCO) memang lebih rendah untuk kendaraan listrik jika dihitung dalam 5-10 tahun ke depan, tetapi tidak semua konsumen berpikir jangka panjang banyak yang lebih melihat harga beli awal dan kemudahan penggunaan sehari-hari. Ditambah lagi, nilai jual kembali (resale value) kendaraan listrik masih menjadi tanda tanya besar karena pasar second nya belum terbentuk, berbeda dengan motor bensin yang mudah dijual kembali dengan harga yang relatif stabil.
Jalan Panjang Menuju Transisi Energi
Transisi dari kendaraan konvensional ke listrik bukanlah sekadar masalah teknologi atau harga, tetapi juga masalah infrastruktur, budaya, dan kesiapan ekosistem secara menyeluruh. Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan mendukung, mulai dari insentif pajak, pembebasan bea masuk komponen, hingga target 2 juta kendaraan listrik pada 2030. Namun, tanpa pembangunan infrastruktur pengisian daya yang masif dan merata terutama di kota-kota kecil dan daerah maka adopsi kendaraan listrik akan tetap lambat dan terbatas pada kalangan tertentu di kota besar saja. Saya berharap pemerintah dan swasta bisa berkolaborasi membangun charging station dengan model bisnis yang sustainable, mungkin melalui kerja sama dengan SPBU existing atau toko retail yang tersebar luas.
Bagi mahasiswa Teknik Mesin seperti saya dan teman-teman, era kendaraan listrik ini sebenarnya adalah peluang besar. Industri otomotif membutuhkan tenaga ahli yang memahami sistem baterai, motor listrik, sistem kontrol elektronik, dan integrasi energi terbarukan. Workshop dan bengkel tradisional perlahan akan bertransformasi menjadi service center berteknologi tinggi yang membutuhkan skill baru. Universitas dan institusi pendidikan juga perlu segera menyesuaikan kurikulum, memasukkan mata kuliah tentang elektrifikasi kendaraan, sistem manajemen baterai, dan teknologi ramah lingkungan. Ini bukan ancaman bagi profesi mekanik atau insinyur mesin, justru ini adalah evolusi yang harus kita sambut dengan persiapan yang matang.
Kembali ke dilema pribadi saya: akankah saya membeli motor listrik di masa depan? Jawabannya adalah ya, tapi tidak sekarang. Saya akan menunggu sampai infrastruktur pengisian daya lebih mumpuni, teknologi baterai lebih terjangkau dan tahan lama, serta lingkup kendaraan listrik benar-benar siap mendukung mobilitas sehari-hari tanpa kekhawatiran. Sementara itu, Aerox saya masih setia menemani perjalanan ke kampus setiap hari, meski saya terus memantau perkembangan teknologi kendaraan listrik dengan penuh antusias. Transisi energi adalah hal yang tak terelakan, tetapi kita harus realistis: perubahan besar membutuhkan waktu, investasi, dan komitmen bersama dari semua pihak. Sampai saat itu tiba, mari kita terus berdiskusi, berinovasi, dan mempersiapkan diri menyambut era mobilitas yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI