Di bawah langit malam, Peter berlari. Langkahnya lebih cepat daripada kecepatan seekor rusa — dia hampir percaya bahwa dia adalah seorang atlet untuk sesaat, tetapi bukanlah piala emas yang dia cari.
   Kedua tangannya terus mengepal dan tidak, berulang-ulang, untuk mengurangi kecemasan yang merayapi kulitnya. Rasanya hampir seperti memakannya hidup-hidup, tetapi rasa terbakar di dadanya lebih buruk. Dia hampir merasa seperti sedang sekarat karena kekurangan oksigen di tubuhnya, tetapi dia sedang mencari piala emasnya.
   Ketika dia mulai merasa seperti berada di desakan ketidaksadaran, dia berhenti. Punggungnya membungkuk ke bawah dan meletakkan tangannya di atas lutut untuk menopang tubuhnya. Dadanya bergerak naik turun dengan ritme yang cepat.
   Seluruh perhatian tertuju kepadanya, tapi dia tidak peduli. Mata yang menunjukkan kebingungan dan kekhawatiran melihatnya seolah-olah dia baru saja berkelahi di tengah jalan. Hal itu membuatnya tidak nyaman, tetapi pikirannya terlalu sibuk dipenuhi dengan perempuan itu.
   Dia menggertakkan gigi ketika dirinya sadar bahwa dia sudah dekat, sangat dekat — hanya beberapa meter dari tempatnya berada. Ia melirik jam tangannya untuk melihat waktu. 19.12, dia membaca, tetapi tidak mengucapkannya.
   Dengan satu helaan napas, dia merenggangkan punggungnya untuk mempersiapkan diri melanjutkan maratonnya. Tangannya terkepal lagi saat dia menempatkan satu kaki di depan yang lain, lalu dia berlari menyusuri jalan-jalan kota. Lampost yang dipajang di sepanjang trotoar menjadi satu - satunya pendukung. Dia beruntung karena sudah cukup larut untuk orang berlalu-lalang — karena kalau tidak demikian, dia harus menembus lautan manusia.
   Begitu tanda bertuliskan "halte" muncul di hadapannya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum bangga pada dirinya. Peter menghela nafas lega, tapi dia tidak berhenti berlari — tidak sampai dia melihatnya.
   Namun, semua harapan dan rencananya langsung luluh begitu saja saat dia melihatnya. Ritme langkahnya melambat dan akhirnya berhenti cukup jauh sehingga sosok yang ia cari selama beberapa waktu yang lalu tidak menyadari bahwa dia ada di sana.
   Sebuah desahan keluar dari bibirnya saat dia menyaksikan pemandangan yang menyakitkan di depannya. Adegan yang menayangkan ketakutan terbesarnya. Perempuan itu bahagia, perempuan itu tersenyum, namun semua itu berkat orang lain.
   Lengannya jatuh lemas di sisi tubuhnya selagi seluruh dunianya terasa hancur. Hatinya sudah lama hilang, namun tidak ada setetes pun air mata yang jatuh. Mungkin dia sudah mengetahui momen ini akan datang. Dia mungkin sudah merasakannya, tetapi dia tidak pernah mempersiapkan dirinya untuk itu.
  "Adelaide menyukaiku." Dia memberi tahu seorang teman di SMA. "Dia baik dan segalanya, tapi aku tidak menyukainya."