Indonesia bisa meniru pendekatan ini dengan langkah-langkah berikut:
- Reformasi birokrasi perdagangan, seperti perizinan ekspor yang lebih efisien dan regulasi yang lebih harmonis.
- Insentif untuk industri hijau, misalnya sektor tekstil berbahan daur ulang agar lolos dari kebijakan tarif berbasis lingkungan.
- Pajak progresif terhadap oligarki impor, dan pengalihan dana tersebut untuk penguatan UMKM dan sektor manufaktur.
Ancaman terhadap Stabilitas Politik
Kebijakan eksternal seperti tarif tinggi AS tidak hanya berdampak ekonomi, tapi juga berpotensi mengganggu stabilitas politik dalam negeri. PHK massal, pelemahan daya beli, serta ketimpangan ekonomi bisa memicu ketidakpuasan publik yang berujung pada tekanan politik terhadap pemerintah. Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa tekanan ekonomi kerap menjadi pemantik gejolak sosial dan protes politik.
Oleh karena itu, penanganan krisis ini tidak bisa hanya dilihat sebagai isu dagang semata melainkan sebagai ujian terhadap ketahanan ekonomi dan legitimasi politik nasional.
Momentum atau Bencana?
Tarif tinggi AS adalah pisau bermata dua: membahayakan stabilitas ekonomi dan sosial, sekaligus membuka ruang untuk keluar dari ketergantungan ekspor tradisional. Kini, pemerintah dihadapkan pada pilihan krusial: apakah akan tetap mengandalkan negosiasi jangka pendek yang rawan kompromi, atau menjadikan krisis ini sebagai momentum untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih mandiri dan adil?
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat diperlukan untuk mengubah tantangan ini menjadi peluang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI