Mohon tunggu...
Marlistya Citraningrum
Marlistya Citraningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Pekerja Millennial

Biasa disapa Citra. Foto dan tulisannya emang agak serius sih ya. Semua foto yang digunakan adalah koleksi pribadi, kecuali bila disebutkan sumbernya. Akun Twitter dan Instagramnya di @mcitraningrum. Kontak: m.citraningrum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ini Bukan Akhir, Melainkan Awal

15 Juli 2013   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:31 1260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1373866278663516972

Kata Om Theodore Roosevelt: nothing in the world is worth having or worth doing unless it means effort, pain, difficulty… I have never in my life envied a human being who led an easy life. I have envied a great many people who led difficult lives and led them well.

Saya setuju.

Itu kenapa kisah-kisah inspiratif biasanya datang dari mereka yang bebannya berat namun bisa mengatasinya.  Mereka yang sakit berat lalu sembuh, mereka yang kehidupan ekonominya lemah namun bisa merangkak naik dan sukses.

Lalu apa artinya saya; yang kehidupannya (sepertinya) normal dan biasa saja, dari keluarga bahagia, punya kesempatan belajar di sekolah unggulan, bisa melanjutkan pendidikan di luar negeri, sering jalan-jalan; apa yang bisa dilihat dari saya? Mana sisi inspiratifnya?

Tidak ada. Setidaknya itu yang saya lihat dari diri saya sendiri.

Tapi kalau begitu saya akan selalu merasa insecure karena orang lain bisa lebih dari saya. Saya menolak untuk menjadi insecure. Yang saya selalu lihat adalah bagaimana saya berkembang dari diri saya sebelumnya, entah itu tahun lalu, dua tahun lalu, sepuluh tahun lalu. Karena yang namanya perjuangan itu tidak bisa dibandingkan satu dengan yang lainnya. Dua orang yang berada di tingkat kesuksesan yang sama belum tentu sama penderitaannya. Titik awalnya belum tentu sama, karakternya belum tentu sama, kondisinya juga bisa jadi berbeda.

Iya, hidup saya sepertinya lancar-lancar saja. Jadi sebenarnya tulisan ini tidak akan kemana-mana.

Tapi sama seperti Anda, saya juga punya titik balik dalam hidup. Sederhana, titik di mana saya berani berprinsip “hiduplah dengan standar yang kamu inginkan, bukan dengan standar orang lain”. Prinsip yang sepertinya biasa saja tapi tanggung jawabnya luar biasa besar, setidaknya bagi saya.

Dibesarkan orangtua yang keduanya guru itu ada enaknya. Belajar jadi teratur, pendidikan diutamakan, les ini itu diberikan, lomba di sini dan di sana diikutkan. Lima belas tahun pertama hidup saya direncanakan oleh orangtua luar biasa yang saya miliki. Bisa dibilang saya tidak memiliki ‘suara’, untungnya, ayah dan ibu saya punya pola pikir dan visi yang luar biasa. Meski begitu, ada masanya saya tidak merasa bahagia, karena suara saya tidak signifikan dan saya ‘harus’ menurut. Sepertinya ayah dan ibu tahu, dan karena itu saya ‘ditendang’ dari rumah, disekolahkan di SMA yang berasrama, supaya saya bisa belajar hidup SENDIRI, sendiri dalam arti sesungguhnya: tidak ada teman lama, tempat asing, mau telepon rumah saja susah.

Segala pergumulan di tiga tahun belajar di SMA itu membuat saya tumbuh jauh lebih cepat dari sebelumnya. Saya mengalami perubahan signifikan: dari remaja tanggung dengan emosi yang masih tidak stabil menjadi seseorang yang bisa berpikir untuk dirinya sendiri, sadar bahwa mengambil keputusan sendiri itu artinya menanggung resikonya sendiri. Tahu bahwa yang namanya menyalahkan orangtua (dan orang lain) untuk berbagai keputusan salah yang kita ambil itu ada tanggal kadaluarsanya. “Biarin nilaiku jeblok, papa mama yang nyuruh aku kuliah jurusan bisnis”, “Palsu nih omongan Mario Teguh, aku sudah begini begitu masih saja gagal”, komentar-komentar itu tidak lagi bisa digunakan.

Standar sosial di keluarga saya waktu itu adalah kuliah di universitas negeri di sekitaran Solo/ Jogja, lulus, kemudian menikah. Namun ayah dan ibu membebaskan saya untuk memilih jurusan yang saya inginkan, di universitas manapun. Dengan satu pesan: karena itu jurusan yang saya inginkan, saya harus belajar dengan benar. Begitulah awal cerita saya melanjutkan perjalanan dari Muntilan ke Surabaya. Kuliah di universitas yang saya inginkan, jurusan yang saya inginkan. Ayah dan ibu sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membantu saya belajar, mereka kuliah bidang pendidikan, saya teknik kimia. Saya harus berusaha sendiri, mengejar nilai A yang saya janjikan pada orangtua. Saya harus menyelesaikan apa yang saya mulai, tidak boleh menyerah di tengah jalan. Lulus tiga setengah tahun kemudian dengan nilai memuaskan. Terlihat mudah? Semuanya selalu seperti itu.

Setelahnya saya mengutarakan keinginan saya untuk kuliah di luar negeri untuk program pendidikan doktoral. Di antara semua omongan “kapan mantunya?”, “mana calonnya?”, saya memilih untuk melanjutkan studi. Tahu bahwa ketika menginginkan sesuatu saya akan mengejarnya sampai kemanapun, ayah dan ibu merelakan. Seusia saya waktu itu, 21 tahun, menurut standar sosial seharusnya saya sudah menikah dan tenang di rumah.

Lalu saya meninggalkan Indonesia, September 2008.

Senin, 1 Juli 2013, jam 12 siang. Saya menelepon ibu di rumah, mengabarkan bahwa saya sudah selesai ujian disertasi. Suara bahagia dan bangganya membuat saya menitikkan air mata. Keluarga adalah alasan terbesar saya untuk tidak menyerah di tengah jalan. Keluarga yang mendukung saya tanpa syarat, tanpa “tapi”, tanpa pretensi. Lima tahun sudah saya tinggal di Taipei. Menuntaskan studi dengan hasil yang memuaskan. Dengan perjalanan panjang yang tentu saja tidak mulus tanpa kelokan. Tidak sekali dua kali saya menangis menelepon ibu, mengadu. Percayalah, setiap orang memiliki ujiannya sendiri-sendiri, meski dari luarnya semua terlihat biasa-biasa.

Kalau saya menuruti semua standar sosial di lingkungan saya 5 tahun lalu, saya tidak akan ada di sini sekarang, memegang gelar doktor, berbagi dengan Anda. Bukan gelar doktornya yang saya banggakan, melainkan bagaimana menyelesaikan sebuah langkah awal dari keputusan yang saya ambil sendiri.

But of course, this is not the end, it is the beginning.

XOXO,

Marlistya Citraningrum, PhD

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun