ASI (Air Susu Ibu) merupakan asupan utama bagi bayi berusia 0-6 bulan. Semua organisasi kesehatan merekomendasikan ASI sebagai sumber zat gizi bayi yang optimal, dengan ASI eksklusif direkomendasikan selama enam bulan pertama kehidupan. Sebagaian organisasi merekomendasikan ASI diberikan setidaknya selama satu tahun, sebagian organisasi lainnya termasuk WHO merekomendasikan pemberian ASI selama minimal dua tahun (Westerfield et al., 2018).
ASI menyediakan zat gizi paling penting dan senyawa bioaktif yang mendukung kekebalan tubuh. ASI merupakan sumber zat gizi enteral yang paling direkomendasikan untuk bayi prematur dan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) karena kandungannya yang kaya akan zat gizi dan komponen bioaktif. Selain zat gizi esensial, ASI mengandung faktor non-nutrisi seperti imunoglobulin dan laktoferin yang berperan penting dalam mendukung pematangan saluran cerna, meningkatkan toleransi terhadap asupan enteral, serta memberikan perlindungan terhadap infeksi dan inflamasi. Kandungan ini membantu bayi beradaptasi lebih baik terhadap lingkungan luar rahim dan memperkuat sistem imun mereka yang masih rentan (Quigley et al., 2019).
Durasi menyusui telah lama dikaitkan dengan berbagai indikator perkembangan anak, termasuk pertumbuhan otak dan kemampuan kognitif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang disusui selama 9 bulan memiliki skor Mental Development Index (MDI) yang lebih tinggi pada usia 1, 2, dan 3 tahun dibandingkan dengan bayi yang hanya diberi susu formula (Lee et al., 2016)
Sebuah Studi longitudinal juga menunjukkan bahwa anak yang disusui lebih lama memiliki pertumbuhan lingkar kepala yang lebih besar dari masa bayi hingga usia 10 tahun, yang secara fisiologis mencerminkan perkembangan otak yang lebih optimal. Lingkar kepala merupakan indikator pertumbuhan otak yang dapat dijadikan acuan pada awal kehidupan dan berkorelsai positif dengan pertumbuhan otak (Horner et al., 2025). Hal ini menunjukkan bahwa semakin cukup pemberian ASI maka semakin besar manfaatnya bagi perkembangan kognitif anak.
Mekanisme yang mendasari hubungan positif antara perkembangan kognitif dan pemberian ASI karena pada ASI terdapat asam lemak rantai panjang tak jenuh ganda (long-chain polyunsaturated fatty acids/LCPUFAs) seperti docosehaxaenoic acid (DHA) dan arachidonic acid (AA). Asam lemak ini memiliki kandungan yang sangat tinggi di dalam ASI, terutama pada masa awal laktasi. Kedua nutrien ini berperan penting dalam perkembangan otak bayi yang masih imatur, termasuk mendukung pertumbuhan sel saraf dan fungsi visual serta kognitif. kadar DHA dalam darah bayi yang mendapat ASI lebih tinggi dibandingkan bayi yang diberi formula, dan kadar ini berkorelasi dengan hasil tes perkembangan mental maupun visual.
Selain faktor zat gizi yang lengkap, faktor psikososial juga turut berperan. Proses menyusui melibatkan kontak fisik dan emosional yang erat antara ibu dan bayi. Interaksi ini memperkuat ikatan emosional, meningkatkan perhatian visual, serta memberi stimulasi kognitif melalui aktivitas koordinasi hisap dan pernapasan. Keterikatan yang lebih aman dan interaksi yang lebih intens selama menyusui diyakini turut mendorong perkembangan sosial dan kognitif anak.
Penggunaan infant-directed speech (IDS). juga turut berkontribusi pada perkembangan anak, khusunya perkembangan Bahasa. IDS membuat suara ibu lebih menarik dan mudah dikenali oleh bayi. Nada yang lebih lembut dan ritmis membantu menenangkan bayi, sekaligus meningkatkan fokus perhatian mereka pada suara dan ekspresi wajah orang tua. Oleh karena itu, aktivitas menyusui dapat menjadi kesempatan bagi bayi untuk mendapat paparan bahasa yang dirancang sesuai dengan perkembangannya, sehingga meningkatkan perkembangan Bahasa mereka (Lovcevic, 2023).
Sebaliknya, anak yang memiliki durasi menyusi tidak baik (<6 bulan), cenderung mengalami keterlambatan perkembangan dibanding mereka yang memiliki durasi menyusui yang baik. Anak yang menerima ASI dengan durasi kurang baik (<6 bulan) berisiko 2,25 kali lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan anak yang menerima ASI dalam durasi memadai. Selain itu, mereka memiliki kemungkinan 4,5 kali lebih besar mengalami keterlambatan bahasa dan 2,5 kali lebih besar mengalami keterlambatan kemampuan personalsosial dibandingkan kelompok ASI durasi baik, meskipun perbedaan tersebut tidak mencapai signifikansi statistik (p>0,1) (Sari & Handayani, 2019).
Kesimpulannya, durasi pemberian ASI yang optimal terbukti menjadi pendorong utama bagi perkembangan kognitif anak usia dini melalui kombinasi nutrisi esensial dan interaksi emosional yang mendalam, sehingga mampu mengoptimalkan potensi pertumbuhan otak serta kemampuan adaptasi sosial-bahasa. Pendekatan ini tidak hanya meminimalkan risiko keterlambatan perkembangan akibat pemberian ASI yang terbatas, tetapi juga selaras dengan panduan global untuk jangka panjang guna membangun fondasi kesehatan jangka panjang yang lebih kuat bagi generasi mendatang.
DA
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI