Pandeglang - Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling penting bagi manusia dan harus tersedia setiap saat. Jika ketersediaan pangan lebih rendah dari kebutuhan, hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam perekonomian. Di Indonesia, pangan sering dikaitkan langsung dengan beras karena beras adalah makanan pokok utama masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan ketahanan pangan, terutama melalui peningkatan produksi beras dari dalam negeri.
Pengertian ketahanan pangan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.
Ahmad Sopiyan (54) adalah seorang petani asal Kampung Koncang Girang, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, yang telah bekerja sebagai petani selama lebih dari 35 tahun. Ia menanam padi sebagai tanaman utama dan timun sebagai tanaman selingan.
Ia menerapkan sistem pergiliran tanaman yaitu setelah panen padi, ia membiarkan tanah beristirahat selama 1--2 bulan sebelum kembali menanam, tujuannya untuk menjaga kesuburan tanah. Biasanya, timun ditanam setelah masa panen padi selesai.
Namun, bertani tidak selalu mudah. Perubahan cuaca yang tidak menentu, seperti curah hujan tinggi, membuat padi rawan terserang penyakit blas dan busuk batang, sedangkan tanaman timun mudah membusuk karena terlalu banyak air. Selain itu, hama seperti wereng pada padi dan ulat pada timun juga menjadi ancaman bagi hasil pertaniannya.
Tidak hanya itu, ia terkadang masih menggunakan pupuk organik yang terbuat dari kotoran hewan dan abu dari pembakaran daun kering.
"Dulu saat pupuk langka dan mahal, saya pakai yang alami. Minta kotoran kerbau dari tetangga, atau ambil daun-daun yang dibakar," jelasnya.
Selain pupuk, kualitas obat-obatan untuk tanaman juga menjadi kendala bagi pertanian nya. Hal ini karena hasil yang didapat sering kali tergantung pada harga obat-obatan tersebut.
"Untuk mendapatkan hasil yang baik, saya harus menyemprotkan obat-obatan sampai lima kali atau lebih. Padahal biasanya cukup empat kali saja. Sedangkan obat yang lebih mahal, dua kali semprot pun hasilnya sudah terlihat," ungkapnya.
Dalam proses bertani, ia juga masih mengandalkan cara tradisional. Sawahnya dibajak secara manual dan tanaman disiram tanpa alat modern. Meski begitu, ia tetap menjalani semua proses dengan sabar dan tekun.