Mohon tunggu...
Citra Arum
Citra Arum Mohon Tunggu... -

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudikku Sebagai Melo Drama

1 Agustus 2013   07:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:45 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Prolog

MUDIK yang dipahami sebagai pulang ke udik, kampung, telah kujalani sejak lahir hingga mendekati tiga puluh tahun ini. Ya, saya lahir di Pemalang, Jawa Tengah dan kemudian tinggal di Jabodetabek – karena pernah di Jakarta, dan di Pondok Gede, kini. Romantikanya jadi genap, tidak seperti umumnya kaum urban. Kan biasanya yang mudik mereka yang dewasa merantau ke kota besar, dan pulang kampung di sekitar lebaran. Dan ini persis sebuah melo drama. Berlarat-larat. Penuh perjuangan, air mata dan kebahagiaan sekaligus.

Empat puluh hari usiaku, aku dibawa Ayah dan Ibu dari Pemalang ke Jakarta. Diiringi tangis luar biasa dari Nenek, kata Ibu. Ya, mengingat aku cucu dari anak laki-lakinya yang dibanggakan dan merantau ke Jakarta cukup sukses. “Ba’da jangan lupa, pulang?” pinta Nenek.

Ya, ba’da atau lebaran, dan maksud Nenek mudiklah bila lebaran tiba. Dan itu dipenuhi oleh Ayah. Ibu pun tak keberatan apa-apa. Senang malah. Namun yang namanya mudik, tidak seperti melakukan perjalanan sekira tujuh jam perjalanan hari biasa, Jakarta-Pemalang. Dan ini yang kuingat, dalam tiga babak.

Babak pertama

Saat itu aku masih balita. Lalu bersama adikku pulang dengan naik kendaraan umum yang sarat. Aku masih mengingat usia lima tahunan. Betapa repotnya. Namun begitu bertemu dengan Nenek, aku “menjadi ratu” dan adikku “menjadi raja”.

“Arum pengin apa? Pandu juga. Nanti Mbah Ndut belikan nasi gombyang. Tapi nggak pedes, ya?” kata Mbah Ndut, aku memanggil Nenek. Karena badannya subur alias gendut.

Itulah makanan khas yang kusuka, selain kupat dekem, hingga kini. Juga ada Sate Loso, dari daging kerbau dengan sambal warna merah yang tak ada duanya di dunia. Hingga waktu ada perhelatan teman-teman dari Jakarta mengakui kemaknyusan rasanya – oya, Oom Bondan Winarno yang kenal ayah pun pernah syuting kuliner di kampung, persisnya kota kecil kelahiranku ini.

Sayangnya, pulang baliknya pakai repot luar biasa. Di mana Ayah perlu menggendong adikku laki-laki seusia setahun dan berdesakkan di sambungan Kereta api yang membawa kami ke Jakarta. Sehingga ini mirip sebuah film, sungguh. “Masuk ke dalam, Pak. Sini anaknya saya pegangi dulu. Lempar.”

Lempar? Hah! Itu bahasa orang panik.

Babak Kedua

Saat kami pulang dengan naik mobil rombongan. Mudik ini terjadi pada tahun Sembilan puluhan. Ayah sudah merancang berangkat pagi dini hari. Apa mau dikata, sejak ke luar dari Pintu Tol Pertigaan Jomin, macet luar biasa. Mobil yang dikemudikan seorang sopir sewaan, masih lumayan. Menyalip banyak mobil yang satu sampai lima jam di depan kami.

Sayang, di daerah Patrol bensin habis, dan macet dengan kendaraan tak bergerak sama sekali. Ayah cekatan. Ia naik ojek untuk membeli bensin eceran di dalam kampung, karena SPBU masih jauh. Pulang-pulang dengan dua jerican, dan mobil bisa beringsut. Perjalanan yang mestinya tujuh jam kami tempuh 18 jam. Dan tidak bisa shalat Ied di masjid Agung sisi kabupaten. “Yang penting, slamet. Bisa kumpul,” kata Mbah Ndut. Ah, Jawa selalu ada pemaafan luar biasa. Sebagai sebuah reserve.

Babak ketiga

Dua mobil iring-iringan, membawa rombongan mudik kami. Sejak out dari Pertigaan Jomin Cikampek, Pak Polantas sudah mengingatkan agar kami belok ke kanan alias mesti mengambil jalur alternatif. Waduh, asyik, nih. Bakalan melewat jalan yang tidak biasa. Dan, benar. Sepanjang jalan melintasi persawahan, kami ditodong “peminta sumbangan”. Bukan soal besarannya benar. Namun oleh Ayah disebutkan – ayahku memang petualang dan hafal daerah Pulau Jawa – ini diputar-putar. Akibatnya, ke luar di daerah Jatiwangi, Jabar, hari sudah rembang petang. Dan kami berbuka di daerah sebelum Cirebon. Belum setengah perjalanan sudah empat belas jam. Kapan tiba di Pemalang?

Masuk Pemalang, praktis 28 jam. Dan kami tidak disambut Mbah Ndut maupun Mbah Kung. Kami harus ke makam, karena keduanya telah berpulang ke Rahmatullah. Padahal, aku saat itu membawa calon suami. “Mbah Ndut pengin ngeliat Arum kawin,” katanya, seperti mengapung di udara.

Di makam, kami berdoa khusuk dipimpin Ayah yang amat terpukul. “Inilah makna mudik. Kita tidak cuma pulang kampung. Namun kita kelak mengerti apa arti tanah kelahiran,” pungkas Ayah sebelum bangkit berdiri.

Epilog

Mudik menjadi sebuah oase bagi yang telah bergelut di rantau. Bagiku, ini terasa benar. Sebab sejak lahir hingga dewasa dan bertemu dengan leluhur orangtua meski di pemakaman layak dijalankan. Mbah Ndut (selain Mbah Kung) yang melihat cucu-cucu dari Ayah, begitu menggantungkan sebuah babak-babak menyentuh pertemuan. Aku menyebutnya tak sekadar tradisi. Namun sebuah pertemuan hati, antara orang-orangnya dan dua wilayah berbeda: tanah kelahiran dan tanah perantauan. Di sinilah harga perjalanan dari kampung halaman dan tanah rantau menjadi absah untuk diperjuangkan. Meski dengan berlarat-larat, bak sebuah drama. Yang mellow sekalipun.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun