Entah mengapa yang bernama limbung itu selalu saja menyelusupi jiwa. Dan seperti itu pula yang dilakukannya kali ini, membuatku gamang-- terkatung-katung di lorong tanpa tepi.
Bau rumput yang baru saja dipangkas menguar ke udara-- memecah dingin yang ditebarkannya. Aku seharusnya gembira, tak semesti saat ini yang tiba-tiba merasa sepi. Kedua kaki ini pun tanpa dikomandoi menyusuri potongan rumput di tanah, mencari lahan untuk merebahkan lelah. Dan betapa leganya hati ketika hidung menghidu aroma dedaunan. Jemariku pun tenggelam diantara tanah basah dan serat hijau-- ini nyata! Aku masih hidup.
"Teh, masih pusing?" Sebuah suara mengguncang 'duniaku'.
"Kenapa emangnya? Kelihatan sakit yah?" Pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dilontarkan. Wajah khawatir dihadapanku telah menjelaskan tanpa perlu mendengar pertanyaan ganjilku.
"Mata Teteh ... kelihatan capek sekali. Sembab kayak habis nangis." Wanita itu benar-benar khawatir menyadari wajahku yang pucat.
"Iya capek, Teh. Capek nangis. Aku 'kan sendirian ...." Aku tertegun tak bisa melanjutkan kata-kata ketika melihat perubahan mimik wajahnya.
"Sendiri?" tanyanya tajam. Wajahnya mengeras-- matanya mengilat memperingatkan.
Mata kami bertautan-- dan aku kalah. Menunduk resah dengan hati terkoyak oleh pernyataan spontanku. Sendiri? tiba-tiba rasa pedih mengiris-ngiris hati menyadari keegoisan diri.
"Bukan, Teh. Aku enggak sendirian ... ada Allah," ralatku pelan nyaris tak terdengar. Malu dengan kelemahan diri-- malu karena melupakan kata 'syukur'.
Dan wanita itu tersenyum lebar. Tubuhnya yang mungil seolah membesar-- menjulang tinggi di hadapanku. Sebesar kepercayaannya pada Sang Pencipta.
"Iya, ada Allah. Teteh tidak sendiri-- kita tidak sendirian. Jangan menangis lagi."