Mohon tunggu...
Cipta Mahendra
Cipta Mahendra Mohon Tunggu... Dokter - Dokter yang suka membaca apapun yang bisa dibaca.

Kesehatan mungkin bukan segalanya, tapi segalanya itu tiada tanpa kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PSBB, PPKM, Lalu?

25 Januari 2021   15:02 Diperbarui: 25 Januari 2021   15:05 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah hampir setahun sejak kasus SARS-CoV-2 atau Covid-19 mulai masuk ke Indonesia sejak Maret 2020 silam. Hingga kini, pandemi tersebut masih saja belum menunjukkan tanda mereda, malah justru semakin menggila. Upaya ini itu pun dilakukan pemerintah demi menghambat laju kasus Covid-19, mulai dari sosialisasi protokol kesehatan, kebiasaan baru, sampai membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar, yang dikenal sebagai PSBB. Sejak pemberlakuannya pada April lalu, jumlah kasus Covid-19 seakan tidak terdampak. Kenaikan angkanya bervariasi setiap harinya, tapi secara perlahan terus terjadi seperti anak tangga. PSBB ketat maupun transisi bak hanya aturan di atas kertas.

Pun demikian saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) disahkan awal Januari ini. Angka kasus tetap segitu-gitu saja, jalanan ibukota tetap ramai layaknya masa sebelum pandemi meskipun terus menjadi provinsi dengan jumlah kasus tertinggi. PPKM sepertinya hanya berganti nama saja dari PSBB. Tidak ada masyarakat yang peduli terhadapnya, dianggap sepi.

Bosan

Sebuah tulisan di Harper's Bazaar: Why are people breaking the Covid rules? The psychology explained (14/1/2021) mengulas sebab orang untuk melanggar aturan-aturan pembatasan sosial terkait Covid-19 di Inggris. Banyak faktornya, tetapi yang utama yaitu adanya rasa jengah, ketidakjelasan hasil lockdown terhadap kasus Covid-19, dan keterdesakan untuk meneruskan hidup. Pada lockdown pertama, saat awal pandemi dan 'momok' Covid-19 masih hangat, masyarakat masih menaruh harapan meredanya wabah virus tersebut. 

Kepatuhan masih tinggi. Tak terelakkan, kasus Covid-19 disana masih juga tinggi seiring waktu. Akhirnya ketika diberlakukan lockdown kedua (dan kini ketiga), dikabarkan disana semakin banyak ditemukan pelanggaran. Warga masih tetap sering berkumpul dan jalanan masih ramai. Psikolog setempat, Audrey Tang mengemukakan bahwa masyarakat sudah bosan dengan kondisi pandemi yang berlarut-larut. 

Lockdown dirasa tidak berdampak signifikan untuk menurunkan kasus Covid-19, justru hanya berdampak negatif untuk diri mereka: keterasingan sosial dan kesulitan ekonomi. Pada ujungnya, mereka berangsur 'terbiasa' dengan adanya Covid-19, tidak peduli dengan ancaman kesehatannya. Mereka dihadapkan dua pilihan: risiko terkena Covid-19 atau tidak bekerja. Belum lagi kesehatan mental terancam imbas isolasi sosial akibat lockdown.

Hal ini diperparah pula dengan efek domino pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran oleh warga yang membandel sangat berpotensi menjadi 'motivasi' warga lain untuk mengikuti hal serupa. Mereka merasa percuma saja mengisolasi diri di rumah, sementara orang lain bisa bebas melanglang buana kesana kemari. Mereka pun berpikir tidak ada gunanya mengurung diri dan mulai mengikuti perilaku orang lain itu. Perlahan, semakin banyak orang yang menyerah dan akhirnya lockdown tidak lagi efektif.

Dalam pandangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) fenomena itu dikatakan sebagai Covid fatigue. Ini sebagai respon alamiah masyarakat terhadap krisis kesehatan global yang belum juga usai dan berdampak pada demotivasi untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang dianjurkan. Masih menurut WHO, ada berbagai alasan sikap antipati warga terhadap ancaman virus Covid-19. 

Pertama, persepsi ancaman secara gradual menurun karena masyarakat sudah diberi jeda waktu lama untuk mulai 'pasrah' dengan keberadaan virus tersebut, bahkan meskipun sudut pandang medis berpendapat sebaliknya. Kedua, masyarakat mulai melihat kerugian ekonomi akibat pembatasan sosial berangsur-angsur lebih berdampak besar untuk kelangsungan hidup daripada risiko terjangkit Covid-19. Akibatnya, warga perlahan akan mulai acuh terhadap pembatasan yang dilakukan pemerintah. Mereka tidak mau lagi mendengarkan.

PPKM?

Situasi demikian tampaknya sangat mungkin menjadi penjelasan untuk apa yang terjadi disini. Masyarakat sudah jengah dengan pembatasan sosial yang diberlakukan berlama-lama. Masyarakan sudah melihat angka kasus tidak membaik meskipun PSBB diberlakukan. Sudah terlalu lama mereka menunggu. Ditambah lagi, perut mereka semakin mendesak untuk diisi sesuap nasi, yang sangat terhalang sejak PSBB pertama diresmikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun