Oleh : Cinta Nayara Arisa (240110020)
instansi : Universitas Malikussaleh
Tingginya angkat pengangguran di Indonesia, khususnya di kalangan terdidik mencerminkan adanya ketidak seimbangan antara output pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja. Mayoritas lulusan perguruan tinggi masih terjebak daalam mindset mencari pekerjaan dari pada menciptakan pekerjaan. Sementara itu lapangan kerja kebiasaan tidak mampu menyerap seluruh lulusan yang terus bertambah setiap tahunnya. Di era digital saat ini, justru muncul berbagai peluang bisnis baru yang belum tergali optimal. Sektor ekonomi digital Indonesia diprediksi akan terus tumbuh pesat, namun ironisnya masih didominasi oleh startup asing. Hal ini menunjukkan bahwa potensi technopreneur lokal belum berkembang maksimal akibat kurangnya bekal kewirausahaan berbasis teknologi yang diberikan di bangku kuliah.
Mengintegrasikan konsep technopreneur dalam kurikulum perguruan tinggi merupakan solusi strategis yang dapat menjawab dua tantangan sekaligus yaitu mengurangi pengangguran terbuka dan menciptakan SDM yang kompetitif di era global. Technopreneur tidak sekadar mengajarkan cara berbisnis, tetapi lebih pada bagaimana mengidentifikasi masalah sosial dan mengubahnya menjadi peluang bisnis melalui inovasi teknologi. Pendekatan ini akan menghasilkan lulusan yang tidak hanya mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, tetapi juga proaktif dalam menciptakan solusi inovatif. Mereka akan menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan lapangan kerja baru, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Untuk mewujudkan hal ini, perguruan tinggi perlu melakukan reformasi kurikulum yang komprehensif. Pertama, mengintegrasikan mata kuliah Teknologi Informasi Kewirausahaan yang tidak hanya teoretis tetapi juga praktis melalui project-based learning. Mahasiswa harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan prototype produk atau layanan digital sejak semester awal.
Kedua, membangun ekosistem pendukung berupa inkubator bisnis, akses mentoring dengan praktisi industri, dan kemitraan dengan perusahaan teknologi. Perguruan tinggi harus bertransformasi menjadi hub inovasi yang menghubungkan ide-ide kreatif mahasiswa dengan kebutuhan nyata pasar. Ketiga, mengembangkan soft skills yang dibutuhkan technopreneur seperti kemampuan untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menginterpretasi informasi secara objektif dan rasional untuk membuat keputusan yang tepat dan solusi yang efektif, problem solving, kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membimbing orang lain untuk mencapai tujuan bersama, dan kemampuan untuk memahami, menggunakan, dan mengelola informasi yang tersedia dalam format digital. Kemampuan ini tidak bisa diperoleh melalui pembelajaran konvensional, melainkan harus dilatih melalui simulasi bisnis, hackathon, dan kompetisi startup.
Lulusan dengan bekal technopreneur akan memiliki keunggulan kompetitif di pasar global. Mereka tidak hanya memahami teknologi secara teknis, tetapi juga mampu mengidentifikasi peluang pasar dan mengeksekusi ide menjadi bisnis yang sustainable. Kemampuan ini sangat dibutuhkan di era ekonomi digital yang menuntut kemampuan untuk bergerak, berpikir, atau merespons perubahan dengan cepat dan efektif serta berinovasi. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi digital regional dengan populasi muda yang besar dan tingkat adopsi teknologi yang tinggi. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika sistem pendidikan tinggi mampu menghasilkan generasi technopreneur yang handal.
Tentu saja, implementasi kurikulum technopreneur bukan tanpa tantangan. Keterbatasan infrastruktur teknologi dan kurangnya dosen dengan pengalaman praktis di bidang startup menjadi hambatan utama. Untuk mengatasi ini, pemerintah perlu memberikan dukungan melalui program bantuan infrastruktur teknologi untuk perguruan tinggi, pelatihan dosen, dan regulasi yang mendukung pengembangan startup mahasiswa. Kolaborasi dengan industri teknologi juga harus diperkuat melalui program magang.
Technopreneur dalam kurikulum perguruan tinggi bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjawab tantangan pengangguran terbuka dan persaingan global. Dengan mengubah pemikiran dari mencari pekerjaan menjadi menciptakan pekerjaan, Indonesia akan memiliki generasi muda yang tidak hanya mampu bersaing tetapi juga memimpin dalam ekonomi digital masa depan.
Sudah saatnya perguruan tinggi mengambil peran sebagai katalis perubahan dengan melahirkan technopreneur-technopreneur muda yang akan menggerakkan roda perekonomian Indonesia ke arah yang lebih inovatif dan sustainable. Masa depan Indonesia ada di tangan generasi yang berani berinovasi dan menciptakan solusi, bukan sekadar menunggu solusi dari orang lain.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI