Mohon tunggu...
Cindy Elfira
Cindy Elfira Mohon Tunggu... -

Seorang Ibu dan Anesthesiologist\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tato dan Mitos Keberanian

18 April 2014   16:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:31 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bila melihat orang dengan tato penuh di tubuhnya, apa yang terlintas di pikiran anda?

Bagi saya yang kebetulan dokter anestesi dengan tugas sehari-hari menghilangkan rasa sakit, maka yang terbayang pertama adalah rasa sakitnya. Rasa sakit yang harus ditahankan orang yang memasang tato ditubuhnya ketika jutaan kali jarum, yang walaupun kecil tetap saja jarum tajam ;) menembus dua lapisan kulitnya untuk dapat mencapai lapisan yang bisa mengikat zat warna agar tato bertahan lama. Terbayang lamanya ia harus menahankan rasa sakit, apalagi bila tatonya luas atau dipasang di area-area yang sensitif seperti di alis, leher, pelipis, dada, puting dll. Lalu terbayang pula reaksi alergi yang terjadi jika tubuh sensitif terhadap zat warna yang dipakai. Dan lanjut, terbayang pula bagaimana kalau terjadi infeksi akibat tusukan jarum dan proses pembuatan yang tidak terjaga sterilitasnya? Membayangkan itu semua, terlepas dari alasan masing-masing orang untuk memasang tato, sepintas di awal … buat saya, kelompok orang ini adalah orang-orang yang mengesankan sosok yang kuat dan berani. :)

Dilihat dari etimologinya di wikipedia, kata tato berasal dari bahasa Polinesia tatau yang selanjutnya mengalami adaptasi demi kenyamanan fonik menjadi tatto ( Inggris) dan tato ( Indonesia). Adalah Joseph Bank (1743-1820) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa penjelajah Inggris Kapten James Cook yang mengisahkan bahwa dalam perjalanannya dengan HMS Endeavour, menemukan bangsa Samoa di Polinesia yang mempunyai kebiasaan menggambar tubuhnya dengan tinta yang berasal dari getah tumbuhan. Kata tatau yang sudah diadaptasi menjadi tattoo ini kemudian diperkenalkan oleh beliau saat kepulangannya ke Inggris pada tahun 1771.

Menurut American Academy of Dermatology, berdasarkan cara pembuatannya tato dibagi menjadi 5 tipe yaitu, traumatik/ natural tato (rajah), amatir(menggunakan alat tradisional), profesional tato (menggunakan mesin modern yang bisa memberikan 80-150 kali tusukan/menit), kosmetik tato/ "permanent makeup" dan medikal tato.

Di banyak suku tato dipasang sebagai inisiasi memasuki usia dewasa. Para pendekar dan samurai di Jepang dan negara-negara kepulauan polinesia dan New Zealand memasang tato hampir diseluruh tubuhnya sebagai "dekorasi keberanian" . Para prajurit memasang tato di tubuh mereka sebelum berangkat berperang dan menambahkannya ketika meraih kemenangan di medan pertempuran. Jadi, tidak heran, dari zaman dahulu tato sudah dikaitkan dengan segala hal yang berhubungan dengan kekuatan dan keberanian.

Melihat asal kata, sejarah, beragam cara pembuatannya serta perkembangan keindahan lukisan tato sekarang ini, maka tak dapat dipungkiri tato memang memiliki keunikan kisah dan kelompok pecintanya sendiri. Cerita bisa berlanjut panjang bila ditelusuri latar belakang masing-masing orang ketika memutuskan akan memasang tato di tubuhnya.

Kembali pada pertanyaan di awal, yang saya hadapi kali ini sedikit berbeda…. dan rasanya memang belum sah rasanya kalau hanya dengan kisah ini kita kemudian mematahkan mitos keberanian tentang tato tersebut. Saya hanya berusaha menjumput sedikit pelajaran dari pasien ini, yang kebetulan diamanahi untuk meng-anestesi sebelum dioperasi jantungnya.

Pasien saya, lelaki yang kalau menurut bilangan umurnya masih sangat muda ini, 41 tahun, memiliki tato hampir diseluruh tubuhnya. Sedemikian penuhnya, sampai sulit saya mencari daerah yang bersih dari tato untuk sekedar memasang jarum infus. Memang sebaiknya dihindari membuat luka tusukan di daerah yang bertato, mengingat daerah ini pada dasarnya sudah pernah mengalami kerusakan hingga lapisan kulit dermis.

Nah, ini dia…. setelah susah payah mencari daerah tusukan, dengan hati-hati saya memberi tahu pasien dan meminta izinnya untuk memasang infus.

Yang mengejutkan saya adalah pasien ini dengan suara gemetar dan terbata-bata berkata " Dokter, saya takut, saya benar-benar takut, tolong saya dok…."

Saya berpikir, pasien ini takut terhadap operasi yang akan dihadapinya, jadi jawaban saya, " Ndak apa-apa Pak, tenang saja, saya akan menemani Bapak sepanjang operasi, saya jamin Bapak tidak akan merasakan sakit, takut atau apapun sampai operasi selesai dan Bapak akan terbangun di ruang ICU nanti ya."

Tapi, coba dengar jawabannya, " Bukan dok, saya bukan takut operasi, kalau itu saya kan nanti dibius dulu, jadi tidak takut. Saya takut disuntik ini dok!."  Ooow…. saya sampai melongo (untung pakai masker, jadi mulut terbukanya tidak terlihat pasien :) )

Jadi rupanya beliau takut sama jarum infus ini?. Masih dengan nada membujuk saya bilang, "Pak, jarum saya ini sangat kecil dan insyallah hanya satu kali tusukan saja. Sakitnya jauh lebih sedikit dibanding saat ribuan kali Bapak di tato dulu." Dijawab lagi, “ Itu kan dulu dok, saya memang benar-benar ingin punya tato, jadi ndak terasa sakitnya, kalau sakitpun pasti bisa saya tahan. Tapi yang ini beda… kalau boleh saya tidak ingin sakit jantung dan dioperasi.” hampir merebak air matanya.

Hhmm…. ternyata, mitos tato dan keberanian pada kasus yang saya hadapi ini perlu dilihat lagi ya.

Saya diingatkan akan satu pelajaran lagi,

Pada saat keinginan sudah bulat, usaha sudah difokuskan dan tekad sudah dikuatkan untuk suatu tujuan, maka tantangan, ujian sakit sebesar apapun serta kegagalan lebih bisa dihadapi daripada sebaliknya.” CB

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun