Seminggu, dua minggu. Sebulan dua bulan.
Hampir enam bulan.
Rinduku makin menggebu.
Rindu yang tidak bisa aku sampaikan, karena Bram tidak tahu jika aku selalu menantinya di setiap pagi.
Matanya yang seksi, senyumnya yang manis, tutur kata yang tertata rapi dan perlakuan tak sengajanya yang membuatku akhirnya jatuh cinta.
Bram tidak pernah tahu, jika aku selalu cemburu saat Bram bercanda dengan temanku. Bram tidak pernah tahu jika harum tubuhnya selalu melintas sampai otakku hapal dengan baik. Bram tidak pernah tahu jika yang membuatku semangat adalah dia. Dan Bram tidak pernah tahu jika yang membuatku jatuh cinta pada Jakarta adalah dia.
"Dru, apa kabar?"
"Hey Bram. Baik. Aku sangat baik."
"Oh, dikira kamu sedang kesal."
"Kok kesal?"
"Kesal karena di rumah terus. Kamu happy ya di Bandung?"
"Biasa saja sih Bram, toh kerja-kerja juga dan tidak bisa jalan-jalan juga. Tumben nih kamu telpon aku, ada project baru kah untuk kita kerjakan Bram?"
"Ada."
Aku sudah mengira, tidak mungkin Bram hubungi aku kalau bukan soal pekerjaan.
Ah Bram, aku itu perempuan, bagaimanapun aku belum punya keberanian penuh untuk menyampaikan bahwa aku sayang kamu.