Aku berpaling lagi.
Bram kembali ke posisi semula.
"Bisa diam tidak sih Bram!"
"Tidak. Aku tak akan diam. "
"Kamu, kalau hanya buat aku berbunga-bunga tidak jelas lebih baik kamu pergi. Laki-laki itu sama saja. Gombal. Sudah jelas punya Nadya kok bisa gombalin aku."
"Yang gombal siapa Dru?"
"Kamu lah"
"Aku ga gombal. Aku serius kok. Aku serius sayang sama pacar orang."
Tak terasa air mataku sudah ambil ancang-ancang. Kalau saja aku di depan akuarium, pasti ikan-ikan itu sudah kembali memperolok aku.
Lagi-lagi aku mengingat segala perlakuan Bowo padaku. Delapan tahun aku pacarana dengannya. Namun baru aku sadari bahwa aku hanya menghargai Bowo, aku tidak cinta pada Bowo.
Dulu saat Bowo menawarkan untuk jadi pendampingku, yang aku lihat hanya keberaniannya saja yang berani nyatakan cinta di depan Bapak dan berjanji untuk tidak melukaiku.
"Wo, kalau mau sama anak Bapak silakan saja, jaga baik-baik Dru. Ini anak kesayangan Bapak, jangan sekali-kali kau lukai Dru."
"Baik Pak, dengan segenap hati akan aku lindungi Dru seperti Bapak menjaga Dru selama ini."
"Dan ingat Bowo, jangan kau lama-lama jika memang Dru cocok untukmu, segera kau nikahi Dru."
Kata-kata ini terngiang di kepalaku.
Seandainya Bapak tahu, maka akan sakit hatinya menyaksikan betapa aku setiap hari menabung tangis. Sekian lama aku tahan namun rupanya benteng pertahananku jebol. Aku tidak mencintai Bowo. Kebersamaanku dengannya tanpa ada rasa cemburu, khawatir, saling ingin tahu dan lain sebagainya.
Dengan dalih bahwa kami saling percaya, yang ada semakin lama semakin tidak ada rasa di antara kami.
"Dru, aku sudah habiskan setengah bungkus Marlboro dan dua gelas kopi untuk perhatikan kamu bertatapan dengan bangku kosong ini. Aku cemburu sama bangku itu."