Nyai menegakkan badannya, dagu diangkat dengan sedikit kibasan rambut yang sengaja dibuat tampak acak-acakan. Menarik kursi dan dia dekatkan pada meja yang sudah tersaji secangkir kopi tubruk kesukaannnya. Nyai tidak duduk, dia hirup aroma kopi tubruk yang sudah dipesannya lalu disimpan kembali di meja , berkeliling dia mengitari cafe, tak jelas maunya apa, yang pasti dia coba perhatikan semua tulisan yang ada di rak cafe, dia perhatikan satu persatu lalu dia ambil satu buku bercover hitam, sekilas aku lihat, buku itu berjudul "ingin ku akhiri hidupku".
Aku perhatikan dari ujung cafe, masih dengan menenteng buku bercover hitam, Nyai tegakkan kembali badannya, dagu kembali diangkat, dia kibaskan kembali rambutnya, pertanda Nyai mau, semua orang yang memperhatikannya mengatakan bahwa Nyai adalah perempuan kuat yang sedikit sombong dan semua yang dialami Nyai adalah baik-baik saja. Ada yang Nyai lupakan, yaitu seulas senyum.
Akhirnya kaki Nyai diarahkan menuju meja yang berisi kopi tubruk pesanannya. Buku mulai dia buka, namun yang kulihat, matanya tidak menuju pada lembaran buku itu, matanya tertuju pada gelas kopi, kulihat seulas senyum Nyai berikan. Â Aku tertarik untuk memperhatikan lebih lama, kupesan satu piring kecil snack untuk menemani Nyai sedikit berbicara dari hati kehati.
Kuambil kursi disebrang Nyai, kudekatkan pada muka Nyai. Sepertinya Nyai memang hilang konsentrasi, aku sudah dengan wangi semerbak, menenteng sepiring kecil snack dan segelas kopi tubruk yang sama, namun Nyai tetep pada tatapan gelasnya.
"Hal menarik apa yang kau pikirkan? sampai kehadiranku saja kau tak menyadarinya"
Nyai kaget, lalu dia hirup dan minum sedikit isi gelasnya. Aku sodorkna snack ku, aku sangat hapal kebiasaan Nyai, memesan kopi selalu ditambah dengan cemilan, sepertinya dia lupa untuk memesannya hari ini.Â
"Aku sendiri tidak mengerti, dari tadi aku mencari tahu apa yang aku cemaskan"
"Kau mencemaskan hal yang tidak kau ketahui?" aku kernyitkan dahiku, aku pandangi Nyai berharap Nyai cepat menjawabnya.
"Iyaa, kegundahanku makin tak karuan. Aku sendiri berat untuk menyampaikan, tapi rasa ini makin bergumul, aku bingung untuk memulai cerita kecemasanku, aku hanya ingin terbebas dari rasa ini, yang pasti aku tak mengerti rasaku ini apa namanya, setiap kuhela nafas, saat itu pula aku mampu terjemahkan, tapi aku yakin tak seorangpun akan mampu memahami"
Nyai aneh... aku tak bicara, kali ini aku ingin dengarkan lagi yang ada dikepala Nyai.
"Kau mengerti tidak?"Â