Zaman gini masih bertengkar di depan anak? Emangnya tak malu sama cicak ya?
Begitulah kira-kira sebuah kekesalan yang diungkapkan kepada para orangtua yang sering bertengkar di dalam rumah.
Berbeda pendapat, berselisih paham, ingin meluruskan yang dianggap tidak benar, menegur kesalahan. Semuanya bisa dilakukan dengan bahasa santun dan dengan senyuman serta kasih sayang. Tapi mengapa harus bertengkar!
Dahulu saya pernah berpikir kalau penyebab pertengkaran dalam sebuah keluarga karena kemiskinan. Ternyata salah besar!
Dalam gelimang kekayaan materi pun tetap saja ada sebuah keluarga yang orangtua mereka bertengkar. Tak sedikit yang berakhir hingga ke perceraian.
Mulanya saya lihat mengapa di beberapa daerah di Indonesia terjadi perceraian pada perkawinan usia muda. Saya merasa karena kebutuhan rumah tangga keluarga baru itu belum mapan, sementara mereka masih sangat muda dan menonjolkan ego masing-masing.
Masa pacaran yang semua terlihat indah jadi buyar karena setiap hari si suami harus mencari nafkah, sementara si istri harus bekerja di dalam rumah membereskan seluruh keperluan rumah tangga. Diperparah dengan kemiskinan mereka.
Kembali ke persoalan bertengkar. Orangtua, apa pun alasannya tak mengapa jika ingin berselisih, berdebat, dan meluruskan apa yang dianggap kurang tepat. Tapi jangan di depan anak-anak.
Kenangan terpahit seorang anak adalah ketika orangtua mereka bersitegang dan bertengkar. Yang terpikir, jika mereka bertengkar kemudian bercerai saya ikut siapa?
Anak-anak tak mampu melupakan kenangan tersebut sepanjang hidupnya. Kejadian itu akan terus tergores dalam dirinya dan mengganggu karakternya.