Akhir-akhir ini ada dua kejadian besar yang menyorot perhatian publik, dan keduanya berkaitan dengan kiai. Pertama yakni perseteruan antar tetangga; Kiai Mim vs Sahara, sedangkan yang kedua berkaitan dengan ambruknya musala Al Khoziny di Sidoarjo yang dianggap sebagai takdir oleh sang kiai. Keduanya terjadi di Jawa Timur, daerah yang selama ini dikenal sebagai basis santri dan ulama. Namun, meski sama-sama berkaitan dengan kiai, dua kejadian tersebut memposisikan kiai pada kondisi yang berbeda.
Perseteruan antara Kiai Muhammad Imam Muslimim Mardi atau yang dikenal sebagai Yai Mim vs Sahara, mulanya menempatkan Yai Mim dalam framing negatif. Berawal dari hal sepele, pemilik rental mobil yang parkir sembarangan di depan pintu rumah Yai dan membuatnya terganggu. Sahara, si pemilik rental mobil selalu memvideokan perseteruan mereka dan mengupload di sosial media. Sebagai generasi millennial, dia paham bagaimana caranya memviralkan videonya. Dampaknya, yai tidak saja panen hujatan dari warga namun juga membuatnya harus mengundurkan diri dari UIN Malang tempat Ia mengajar sekaligus terusir dari tempat tinggalnya.
 Perseteruan itu kemudian meluas, melibatkan RT-RW, lurah, dan camat setempat, dan ormas MADAS (Madura Asli). Keduanya pun kemudian diundang ke beberapa sinear seperti Densu, Gubernur Jabar Kang Dedi Mulyadi, Wakil Walikota Surabaya Armuji, dan mantan anggota DPR RI Uya Kuya. Mulanya, pihak yai diam, namun semakin Ia Inez, mulai mengupload video perseteruan untuk mengkonter video Sahara. Warganet pun kemudian berbondong-bondong berbalik arah memberikan dukungan kepada yai.
Satu per satu fakta terkuak, dan yai berhasil mendapatkan simpati publik. Namun Ia sudah kehilangan tempatnya mengabdi di kampus, kehilangan tempat tinggal, dan berbagai kerugian material lainnya. Namun lebih dari itu, Ia kehilangan rasa nyaman dan marwahnya sebagai yai diobrak abrik. Terlebih, pihak Sahara menyebut jika yai bertindak cabul dan melakukan pelecehan seksual kepadanya. Meski yai kini lebih banyak mendapatkan simpati dari masyarakat dan jalur hukum buat, namun hal tersebut belum benar-benar bisa mengembalikan marwah sang kiai.
Berkebalikan dengan Yai Mim, KH R. Abdus Salam Mujib selaku penerus pendiri Ponpes Al Khoziny tetap mendapatkan dukungan dari berbagai pihak meski pondok yang Ia asuh ambruk dan menewaskan 67 santri dan 104 lainnya luka-luka. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada ketidakadilan sistemik dalam sistem pendidikan di Indonesia yang membuat banyak pondok pesantren kekurangan dana dan pada akhirnya membangun gedung dengan dana swadaya dan apa adanya. Namun semata-mata menyalahkan sistem sama halnya menganggap bahwa pihak pesantren pasif dan sama sekali tidak berdaya. Padahal, sebagai salah satu pesantren tertua, tentu memiliki ribuan alumni, dan jaringan yang mengakar kuat yang memungkinkan pihak pesantren untuk memahami bagaimana seharusnya bangunan dibangun dengan layak dan aman. Â
Adanya puluhan korban jiwa dalam tragedi ambruknya musola ponpes kuat terindikasi akibat dari kelalaian dalam pembangunan. Lebih dari itu, bangunan ponpes tersebut juga belum memiliki izin bangunan (Suara.com). Namun alih-alih mengakui sebagai bentuk kelalaian, tragedi tersebut lebih dipahami sebagai takdir. "Saya kira ini takdir dari Allah. Jadi, semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik," ujar KH R. Abdus Salam Mujib selaku pimpinan ponpes pada Senin (29/9/2025) malam sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Dalam kejadian tersebut, ada wali santri yang kritis dan menuntut agar hukum ditegakkan tanpa memandang status sosial ataupun jabatan. Namun lebih banyak yang diam, takut menuntut pertanggung jawaban, dan tetap berharap mendapatkan berkah kiai. Bentuk takdzim lainnya yang ditunjukan pada kiai misalnya menolak santunan yang diberikan pesantren. Ketakdziman masyarakat terhadap kiai bisa dipahami karena dalam struktur sosial, kiai menempati hirarki tertinggi terutama bagi masyarakat yang taat beragama. Â
Guru, maupun orang-orang yang berilmu dalam hal ini kiai, memang layak mendapatkan respek dan hormat. Namun, ketundukan adas dasar hormat yang berlebihan hingga menghilangkan naluri kritis adalah bentuk lain dari pembiaran atas kelalaian. Sebaliknya, sikap kritis dan objektif juga bisa dipahami sebagai bentuk cinta dan respek agar para pemimpin umat tetap berjalan di jalan yang benar dan terhindar dari kelalaian yang merugikan.
Kejadian pertama yang melibatkan Yai Mim, masyarakat umum dengan mudahnya terprovokasi dan mencaci maki tanpa terlebih dahulu memahami konteksnya sampai yai kehilangan marwahnya. Sebaliknya, di kejadian kedua karena marwah kiai, banyak pihak yang kehilangan nalar kritisnya, cenderung membela, takut kehilangan berkah dan karenanya takut menuntut pertanggung jawaban atas kelalaian pembangunan ponpes.
     Â
ReferensiÂ
Sosok KH Abdus Salam Mujib, Pengasuh Generasi Ketiga Ponpes Al Khoziny Sidoarjo
Publik Soroti Ponpes Ambruk Renggut Nyawa: Kelalaian Pembangunan atau Takdir?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI