Mohon tunggu...
Chusnul C
Chusnul C Mohon Tunggu... Peneliti dan penulis lepas

Seorang peneliti dan penulis lepas, menyukai isu lifestyle, budaya, agama, sastra, media, dan pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rekonsiliasi, Taubat Nasional dan Pendinginan Alam

23 September 2025   20:10 Diperbarui: 24 September 2025   17:48 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba (Sumber: dok.pribadi/Kredit Foto)

Dalam sebulan terakhir, kondisi masyarakat Indonesia sedang terkoyak. Aksi demonstrasi terjadi di seluruh penjuru tanah air dan tidak sedikit berakhir dengan ricuh seperti pembakaran fasilitas umum dan penjarahan, terlepas adanya provokasi dari luar pendemo.

Aksi demonstrasi yang terjadi di seluruh negeri merupakan puncak kemarahan rakyat yang merasa dikhianati oleh pemerintahnya sendiri.

Sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024 lalu, muncul berbagai kontroversi yang membuat rakyat geram dan menganggap kebijakan pemerintah tidak pro rakyat.

Ketika pemerintah sedang menyerukan penghematan nasional dengan kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak pada ekonomi masyarakat, tunjangan anggota DPR naik fantastis, berkali-kali lipat dari UMR Jakarta.

Lebih dari itu, para pejabat negara termasuk beberapa Menteri dan Anggota DPR bersikap pongah dan nir-empati yang kemudian memancing amarah rakyat.

Di sisi lain, di masa pemerintahan Prabowo, banyak kasus korupsi ratusan trilliun yang diungkap. Meski hal ini seharusnya menjadi kabar baik, namun skandal mega korupsi yang terjadi di negeri ini, semakin membuat rakyat muak.

Puncak kemarahan rakyat terjadi di tanggal 28-29 Agustus, yang dipicu oleh kematian Affan Kurniawan seorang pengemudi ojek online yang dilindas kendaraan rantis Brimob.

Kematian Affan Kurniawan, menjadi titik poin yang memancing solidaritas sebagai sesama rakyat biasa. Aksi demonstrasi meluas di berbagai wilayah dari ibukota Jakarta, kota-kota besar di hampir seluruh provinsi dan bahkan hingga ke kota-kota kecil kabupaten.

Sayangnya aksi demonstrasi juga banyak ditunggangi oleh pihak lain yang memiliki motif memecah belah aksi demonstrasi, termasuk adanya aksi pembakaran gedung-gedung DPRD, berbagai fasilitas umum dan juga penjarahan rumah anggota DPR RI dan Menteri.

Kericuhan yang terjadi, tercatat hingga hari ini telah memakan 10 korban jiwa (Kompas.com, 2/9), belum aksi massa yang masih belum ditemukan serta aksi massa yang mengalami luka-luka.

Kondisi demikian membuat masyarakat menjadi tegang, dan masih penuh dengan amarah dan menjadi trauma kolektif meski beberapa tuntutan rakyat seperti pemecatan anggota DPR dan pengurangan tunjangan telah dipenuhi DPR (Inews.com, 5/9).

Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo (Sumber: Jakartapost/Kredit Foto)
Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo (Sumber: Jakartapost/Kredit Foto)

Menanggapi situasi yang mencekam, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, sebagaimana dikutip dari Swara.com (5/9), mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk melakukan taubat nasional sebagai bentuk refleksi bersama atas berbagai persoalan yang sedang terjadi.

Kardinal Suharyo mengatakan bahwa Bangsa Indonesia perlu mengakui kelemahan dan kesalahan baik dalam ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ia menambahkan, cita-cita bangsa menuju Indonesia Emas 2045 bisa tercapai jika bangsa ini mau jujur, dan berbenah dengan kesungguhan hati.

Taubat nasional ini tidak sekadar seruan moral, namun gerakan membangun teologi publik yang berpihak dan mendukung kepentingan bersama.

Menurut Kardinal Ignatius Suharyo, taubat nasional diperlukan sebagai sebuah permulaan kesadaran kolektif yang mulai terbangun. Dan taubat nasional ini bisa dimulai dari presiden sebagai pemimpin negara, dan diikuti oleh keseluruhan masyarakat Indonesia dengan cara masing-masing sesuai dengan agama dan kepercayaan.

Konsep Mendinginkan Alam dalam Masyarakat Adat Ammatoa

Perempuan Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba (Sumber: dok.pribadi/Kredit Foto)
Perempuan Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba (Sumber: dok.pribadi/Kredit Foto)

Masyarakat Adat Ammatoa yang terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan dikenal sebagai kelompok adat yang sangat peduli terhadap kelestarian alam.

Peter Yeung dalam artikelnya "The World's Best Rainforest Guardians Already Live There" (1/5/2023) menyebut Komunitas Adat Ammatoa sebagai pelindung hutan. Ia menyebut bahwa gaya hidup komunitas adat Ammatoa merupakan kunci untuk melindungi hutan.

Dalam konteks Indonesia, Komunitas Adat Ammatoa merupakan salah satu komunitas adat yang terkuat ditinjau dari sosial, politik dan budayanya serta kemampuannya dalam menjaga kelestarian alam yang didasarkan pada tradisi lisan Pasang ri Kajang (Muur, 2018, rainforestjournalismfund.org).

Pasang ri Kajang mengajarkan bagaimana manusia berelasi dengan sesama manusia dan alam semesta dalam bentuk relasi yang setara.

Mereka percaya beragam energi yang muncul akan mempengaruhi bagaimana alam semesta meresponds dan begitupun sebaliknya, ketika alam semesta dianggap tidak ramah, manusia perlu melakukan pendinginan alam.

Pada tahun 2019, ketika saya berkunjung ke Kajang, panas mencekam dan hujan tak juga turun padahal di berbagai daerah lainnya di sekitar mereka sudah turun hujan.

Akhirnya, mereka melakukan ritual pendinginan alam atau yang disebut Andingingi dalam skala kecil. Ritual tersebut adalah upaya untuk meresponds alam semesta (Langgar.co).

Di sisi lain, mereka juga memiliki ritual Andingingi yang diselenggarakan setiap tahun, dilakukan dalam skala besar, dan ditujukan untuk mendapatkan kedamaian serta dijauhkan dari bahaya (Sarah Arsitha Putri dan Abdul Rahman, 2021).

Dalam disertasi Samsul Maarif (2012), Ia menceritakan bagaimana salah satu warga Ammatoa menilai bahwa demokrasi tidak akan berhasil dalam mengelola negara karena didasarkan pada urusan manusia, dan karenanya hanya dapat memenuhi keinginan manusia.

Demokrasi adalah tentang uang dan orang-orang hanya peduli dengan mereka yang memberi uang untuk mendapatkan suara. Mereka tidak mengikuti kata hati mereka, suara alam, dan suara Tuhan karena itu, menurut dia demokrasi bertentangan dengan alam dan Tuhan.

Obrolan tersebut terjadi pada September 2009, tidak lama setelah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan hasil pemilu dan menjadi presiden kedua kalinya.

"SBY telah terpilih sebagai presiden untuk masa jabatan kedua dan itu menunjukkan bahwa orang-orang tampaknya sangat mengagumi dan mempercayainya. Tetapi alam dan Tuhan jelas tidak. Bencana alam silih berganti. Tsunami, erosi, banjir, dan banjir lumpur adalah "air mata" alam. Alam sedang menangis. Gempa bumi adalah batuk alam. Alam sedang sakit. Masyarakat Indonesia tidak memahami bahwa alam merasakan, melihat, mendengar, dan melakukan hal-hal sebagaimana manusia. Alam bahkan dapat mencelakai dan menyakiti. Jika alam marah setelah diperlakukan secara tidak bertanggung jawab, ia menghancurkan kehidupan manusia. Ia menghancurkan manusia mana pun tanpa menyaring yang baik dan yang jahat. Ia seperti semut yang menggigit kita, dan kita membunuh semua-semut yang kita temukan, sebanyak yang kita bisa, termasuk yang tidak bersalah. Itu semua karena manusia tidak mengikuti Pasang. Mereka bahkan mengubahnya karena hawa nafsu mereka yang tak terkendali," sebagaimana dikutip dari disertasi Samsul Maarif.

Rekonsiliasi Bersama sebagai Warga Negara

Pada tanggal 5 September 2025, pemerintah, dalam hal ini DPR RI telah mengabulkan 6 dari 17-8 tuntutan dan selebihnya masih dalam proses. Meski belum sepenuhnya, hal ini menjadi sejarah bagi Bangsa Indonesia dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi.

Tentu, gejolak di masyarakat belum sepenuhnya reda, berbagai isu berat seperti tertangkapnya koruptor masih akan mewarnai berita sehari-hari.

Selain itu, berbagai pihak juga masih terus melakukan upaya-upaya pemecahan bangsa baik dilakukan secara langsung maupun dalam dunia digital.

Sebagai warga sipil, tentu kita wajib untuk terus melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah dan seluruh jajarannya, namun kita juga perlu legowo, rendah hati untuk mengapresiasi niat baik pemerintah, dan selanjutnya mendukung mereka agar tetap bersama rakyat.

Untuk itu, himbauan Kardinal Ignatius Suharyo untuk segera melakukan taubat nasional bukanlah sekadar seruan semata, namun penting untuk dilakukan bersama untuk mendapatkan kedamaian lahir-batin serta pikiran yang tenang.

Ragam pertengkaran tidak akan selesai dan akan terus menjadi besar jika Ia terus diberi bahan bakar kemarahan. Pertaubatan nasional, sebagaimana yang disebutkan Kardinal Suharyo, bisa dimulai dari Presiden Prabowo, diikuti oleh seluruh jajaran pemerintahan hingga ke masyarakat secara menyeluruh.

Taubat nasional dalam hal ini tidak sebatas dalam artian sempit berdoa memohon ampun, namun taubat dalam arti yang lebih luas yakni mengakui kesalahan dan mencoba memperbaikinya.

Kondisi tatanan pemerintahan dan sosial yang penuh amarah dan energi negatif, tidak saja membuat mental dan psikologis kita terganggu namun juga kondisi alam semesta yang ikut bergejolak.

Dalam hal ini, kita perlu mengendorkan amarah dan bersikap rendah hati untuk saling memahami, saling memberi waktu, dan menocba untuk bersama-sama melakukan berbagai upaya perbaikan.

Jika masyarakat adat memiliki ritual pendinginan alam untuk membersihkan berbagai energi negatif di sekitar kita, kita juga bisa mengupayakannya bukan dalam artian kita harus mengikuti tata cara ritualnya, namun dalam artian memahami substansinya.

Kita manusia merupakan bagian dari alam semesta, maka mendinginkan alam perlu dimulai dari diri kita terlebih dahulu.

Konsep mendinginkan alam Komunitas Adat Ammatoa, saya pahami tidak sakadar terkait dengan lingkungan, namun lebih dari itu, adalah semua tatanan yang ada; kondisi batin masyarakatnya, relasi manusia dengan sesama, pemerintah dengan warganya, ataupun manusia dengan alamnya.

Konsep mendinginkan alam juga bisa diartikan mendinginkan hati dan pikiran dengan penuh kesadaran.

Referensi:

Apa Itu Tobat Nasional? Seruan Kardinal Ignatius SuharyoThe World's Best Rainforest Guardians Already Live There | Rainforest Journalism Fund

Jawaban Lengkap DPR atas Tuntutan Rakyat: Hapus Tunjangan Rumah hingga Pangkas Anggaran

Maarif, S. (2012). Dimensions of Religious Practice The Ammatoans of Sulawesi, Indonesia. Arizona State University

Ritual Andingingi - Langgar.co

Van der Muur, W. (2018). Forest conflicts and the informal nature of realizing indigenous land rights in Indonesia. Citizenship Studies, 22(2), 160-174. 

View of Ritual Andingingi Cultur Kajang Ammatoa

Update 10 Korban Tewas dalam Demonstrasi 28 Agustus-2 September 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun