Mohon tunggu...
churmatin nasoichah
churmatin nasoichah Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

^-^

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjadi Biasa Itu Luar Biasa

21 September 2022   10:59 Diperbarui: 21 September 2022   11:20 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalimat itu pernah saya tulis pada sebuah status facebook pada tanggal 26 Februari 2022. Banjir like dan komentar, namun sayangnya komentar yang muncul mengarah pada obrolan yang tidak substansional. Maklum karena kebanyakan mereka adalah teman-teman dekat saya, tentu obrolan lebih ngalor ngidul sambil bercandaan. 

Bagi saya pribadi, 'Menjadi Biasa itu Luar Biasa' bagaikan sihir yang mampu membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik. Membuat saya mampu menjalani hidup ini sebagaimana ngalir apa adanya. Membuat saya mampu menghargai kerja keras saya dan menghargai sekeliling saya. 

Kata-kata itu membuat saya tidak hanya fokus pada satu titik atau tujuan saja, namun lebih cenderung menghargai dan menikmati proses itu sendiri. Ada variabel-variabel proses yang membuat hidup ini lebih berwarna. Tentu terlepas dari rumit tidaknya proses yang dilalui, ada hal-hal yang terjadi diluar kendali saya. 

'Menjadi Biasa' itu saya definisikan sendiri sebagai manusia yang biasa saja, tidak begitu menonjol dan sangat standar. Mungkin bisa dikatakan ada tidaknya saya tidak begitu berarti bagi sekitar. Tidak menjadi pusat perhatian karena hal istimewa atau bahkan sebaliknya hal yang buruk sekalipun.

Pola pikir ini sebenarnya sudah saya renungkan jauh saat usia saya masih belasan tahun. Tepatnya saat saya mulai mengalami gejolak jiwa muda, tepatnya saat menginjak kelas 3 SMP. Saya yang dari SD hingga SMP selalu mendapatkan ranking 3 besar, mulai merasakan bahwa berada diposisi tersebut ternyata tidak menyenangkan.

Mungkin sebagian besar orang mendambakan berada di posisi tersebut. Tentu karena di posisi itu kita menjadi pusat perhatian orang-orang sekitar kita. 

Tidak sebaliknya bagi saya yang mengalaminya. Karena mengejar prestasi tersebut membuat saya cenderung egois, pelit, setiap ujian saya selalu menutup kertas karena takut akan dicontek teman. 

Tidak hanya itu, saat saya mendapatkan peringkat 2 atau 3 masih saja kecewa karena gagal menduduki peringkat 1. Padahal posisi 3 besar sudah sangat didambakan bagi sebagian besar teman sekelas kita. Hal ini membuat saya menjadi pribadi yang kurang bersyukur dengan apa yang saya terima.

Saya teringat, saat kelas 3 SD saya mendapatkan peringkat 2 dan saya langsung mengunci diri di kamar. 

Kakak saya yang melihat saya langsung mencoba menghibur dengan membelikan kotak pensil warna biru lengkap dengan pensil, penghapus, rautan, dan penggaris yang senada dengan kotak pensil tersebut. Peristiwa itu masih saja membekas hingga usia 39 tahun ini. 

Menginjak SMA saya mulai mengurangi keinginan saya untuk berprestasi 3 besar meskipun di awal kelas 1 saya masih saja mendapatkan peringkat 3. Namun lambat laun prestasi saya mulai merosot sampai pada angka 5, 6, atau 7. Dengan di posisi tersebut, saya mulai merasakan berkurangnya perhatian teman-teman ke saya. 

Keberadaan saya mulai tidak terlihat, ada tidaknya saya juga mulai tidak dipedulikan teman-teman saya. Paling tidak itu yang saya rasakan. 

Entah mengapa saya mulai merasakan adanya kebebasan, merasa tidak ada tuntutan lagi sebagai nomor 1, dan tentunya lebih bisa menikmati hidup. Meskipun tidak munafik, terkadang muncul keinginan untuk bisa menjadi pusat perhatian lagi.

Mulai di bangku SMA saya hanya bisa mendapatkan 10 besar namun tetap saya pertahankan untuk bisa masuk kelas IPA dan lulus dengan nilai yang tidak buruk-buruk sangat. 

Saat lulus saya melanjutkan kuliah di UI dengan IPK yang standar, terpenting masih di atas 3. Modal IPK untuk melamar kerja setidaknya bisa terpenuhi. Tidak ada cita-cita menjadi mahasiswa berprestasi dengan nilai nyaris sempurna. 

Begitu lulus, beruntung bisa langsung diterima sebagai Peneliti ASN dan selama bekerja prestasi saya bisa dibilang sangat biasa. Tidak ada hal yang menonjol pada diri saya selama bekerja. Begitulah terjadi hingga sekarang.

Meskipun saya tidak pernah fokus lagi menjadi nomor 1, namun untungnya saya tetap berkeinginan mengejar apa yang menjadi mimpi-mimpi saya. Keharusan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri dan setelah lulus bisa mandiri secara finansial (meskipun saya seorang perempuan) membuat saya tetap berfokus pada hal-hal tersebut. 

Tidak lagi menjadi yang terbaik tidak membuat saya berhenti bercita-cita. Fokus pada diri sendiri dan tidak membandingkan hidup kita dengan orang lain menjadi pelajaran berharga bagi saya hingga saat ini. Bukan berarti saya merasa sudah sukses saat ini, justru sebaliknya saya masih saja menikmati proses.

Kembali lagi pada judul yang saya angkat 'Menjadi Biasa itu Luar Biasa', ternyata menjadi manusia yang standar apa adanya seperti yang lain itu luar biasa. Kita bisa menghargai orang lain, tidak selalu merasa superior, dan yang terpenting menjadi lebih damai. 

Kita bisa lebih fokus pada diri sendiri, kita bisa mengukur kemampuan diri sendiri dan yang terpenting kita bisa lebih menghargai diri sendiri. Perbanyak berkarya, tidak dihargai pun tidak apa-apa. Perbanyak berbuat, tidak berguna pun tidak apa-apa. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun