Siapa yang tak kenal Universitas Negeri Surabaya (UNESA) ? Ya. Perguruan tinggi negeri yang adalah peralihan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya ini terkenal sebagai salah satu kampus pencetak tenaga pendidik dan kependidikan terbanyak di Indonesia.
Saya mulai masuk di UNESA tahun 2020. Tepat di tahun kedua pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia. Saya sempat mengutarakan keinginan saya untuk gap year karena tidak lolos UTBK pada saat itu. Tapi, keluarga menyarankan untuk tetap kuliah, meski harus lewat jalur mandiri. Akhirnya, setelah melalui proses seleksi dan administrasi, saya resmi menjadi Mahasiswa UNESA. Saya mengambil program studi Teknologi Pendidikan.
Singkat waktu, setelah 4 tahun berkuliah, saya lulus di tahun 2024 lalu dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Banyak teman dan kerabat menyarankan untuk menjadi guru. Tapi saya enggan. Setidaknya, berikut beberapa alasannya:
1. Sistem Pendidikan yang Selalu Berganti
Bukan rahasia lagi kalau sistem pendidikan atau kurikulum selalu berubah tiap pergantian menteri pendidikan. Memang tiap sistem ada kelebihan dan kekurangan. Tapi bagi saya, apakah tidak lebih baik fokus menyempurnakan satu kurikulum daripada menata ulang dan membiasakan diri pada kurikulum yang baru? Tidak hanya siswa, perubahan kebijakan itu juga memberikan efek domino pada beban kerja dan kesejahteraan guru. Maka dari itu, ribet!Â
2. Guru Dipandang Sebelah Mata
Yang belajar sejarah, pasti pernah dengar tindakan Kaisar Hirohito setelah tragedi bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Ya. Ia mencari dan mengumpulkan guru yang tersisa. Bukan tentara. Lalu apa yang terjadi? Jepang segera melakukan reformasi pendidikan dengan pembentukan Kyouikku Sasshin Iinkai. Dampaknya terbukti hingga kini. Jepang sukses dan jadi salah satu negara maju dunia.
Nah itu Jepang. Lain hal dengan Indonesia. Di sini, guru hanya dipandang sebagai "sapi perah" dunia pendidikan. Keberadaan guru dipandang hanya sebagai sosok yang diperas keringatnya untuk proses pembelajaran yang semu. Padahal, ada pepatah berbunyi: "Pengalaman adalah guru terbaik." Sedangkan, yang memberikan pengalaman pendidikan terbaik bagi kita adalah guru. Yang berarti, keberadaan guru memiliki andil yang besar bagi tumbuh kembang generasi bangsa. Tapi realitanya? Miris.Â
3. Memang Tidak Ada Ketertarikan
Dari beberapa kasus yang telah dibahas di atas, memang secara pribadi, saya tidak tertarik menjadi guru. Entah mengapa. Mungkin semangat yang saya miliki untuk mengabdikan diri demi pendidikan bangsa yang lebih baik lebih dahulu surut setelah diterpa keadaan pendidikan Indonesia yang suram. Tak hanya itu, nyatanya, menjadi guru memang melelahkan. Harus mengondisikan kelas yang riuh sembari tetap menyampaikan materi belajar. Belum lagi menyusun modul ajar dan urusan administrasi lainnya.Â