Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Menjadi Manusia yang Memanusiakan (Tanggapan atas Kasus Penyerangan Gereja St. Lidwina Yogyakarta)

14 Februari 2018   21:54 Diperbarui: 22 Februari 2018   14:52 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum tepat satu minggu berlalu, masih hangat di pikiran kita mengenai kasus penyerangan yang dilakukan oleh pelaku berinisial S di Gereja Katolik St. Lidwina Yogyakarta pada hari Minggu, 11 Februari 2018. Banyak isu intoleransi yang mulai menyeruak, namun himbauan untuk tidak berprasangka buruk pun tak kalah banyaknya.

Penyerangan yang masih belum diketahui motifnya ini kembali menimbulkan beragam pertanyaan "masih adakah rasa kemanusiaan di negara ini?". Sungguh pelik, ketika dua hal yang berbeda -- Agama dan Kemanusiaan, namun memiliki keterikatan kuat justu dipagari oleh rasa "benar sendiri" -- merasa yang dilakukan sesuai ajaran yang dipercaya, dan menganggap bahwa itu baik adanya.

Berbicara mengenai benar ataupun salah tidak akan pernah ada habisnya, terlebih jika dikaitkan dengan kasus yang membawa unsur keagamaan. Siapa yang mau disalahkan? Perasaan "benar sendiri" ini adalah hasil dari kesalahpahaman, yang berujung pada sikap tidak percaya dan akhirnya memunculkan tindakan menuai kecaman.

Isu intoleransi bukan sekali ini saja terjadi di Yogyakarta, bahkan beberapa waktu yang lalu terjadi pembubaran bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik St. Paulus Pringgolayan. Pembubaran yang dilakukan oleh Ormas Front Jihad Islam ini atas tuduhan kristenisasi. Bayangkan, sebuah bakti sosial yang dilakukan untuk memperingati catur windu Gereja justru dituduh sebagai aksi kristenisasi.

Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap. Kita di sini bukan yang mewakili kaum minoritas ataupun mayoritas, tapi kita -- sebagai warga negara Indonesia yang paham akan makna Bhinneka Tunggal Ika. Jika rasa "benar sendiri" kita biarkan, tidaklah heran jika seruan toleransi hanya akan menjadi seruan semata.

Kembali dengan kasus penyerangan Gereja St. Lidwina, ternyata kasus ini menjadi titik balik bagi kita untuk melihat bahwa harapan akan toleransi dan memanusiakan manusia bisa kita wujudkan, bahkan tanpa harus menggunakan embel-embel sebagai perwakilan sebuah komunitas ataupun publikasi yang hebat. Kegiatan sederhana namun menyentuh, begitu kalimat yang menggambarkan bagaimana pasangan suami isteri yang beragama Muslim justru turut membantu membersihkan Gereja pasca penyerangan.

Meskipun bentuk tindakan mereka hanya berupa bersih -- bersih dan merapikan isi Gereja bukan sesuatu yang "wah", namun karena kerendahan hati serta kesadaran sebagai sesama manusia dan warga Indonesia inilah yang bisa kita teladani. Inilah makna dari menjadi manusia yang memanusiakan yang saya maksudkan.

Aksi serupa juga mulai bermunculan, seperti pembacaan hasil konsolidasi yang dilakukan oleh 32 elemen masyarakat yang menamakan diri sebagai Gerakan Masyarakat Yogyakarta Melawan Intoleransi. Aksi ini membacakan beberapa sikap serta tuntutan yang juga ditujukan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono untuk membubarkan ormas yang menyebarkan rasa intoleran.

Pada dasarnya, sebagai manusia yang memiliki akal serta budi tindakan untuk menghargai perbedaan dan menerimanya sebagai wujud keberagaman bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Namun sayangnya, tidak semua orang dapat menerima perbedaan yang ada, sebagian bahkan mempermasalahkan perbedaan tersebut dan menjadikanya sebagai alat untuk mengadu-domba.

Perpecahan yang didasari perbedaan bukan hal baru bagi kita, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda, kita pernah mendengar istilah "devide et impera" atau memecahbelah untuk menguasai. Strategi ini dilakukan oleh penjajah karena memanfaatkan perbedaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia sebagai kesempatan yang bisa dipecah dengan menumbuhkan rasa "benar sendiri".

Maka sebenarnya, terlalu sempit memang jika "benar sendiri" di sini hanya dikaitkan dengan isu agama, padalah Indonesia memiliki perbedaan yang beragam. Namun, sekarang kita bukan hanya membicarakan tentang perbedaan tersebut, namun sikap seperti apa yang harus kita ambil, terlebih sebagai generasi muda yang kerap kali menyuarakan toleransi di berbagai lini media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun