Jokowi – Ahok akan memimpin Ibu Kota setelah Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Pilkada Putaran kedua oleh KPUD DKI Jakarta kemarin memastikan kemenangan pasangan yang diusung oleh PDIP dan Gerindra itu.
Banyak yang menilai bahwa proses demokrasi dalam ajang pilkada dimaksud berhasil dengan baik dan memberikan banyak pelajaran berarti. Di samping acungan jempol yang patut diberikan karena putaran kedua berlangsung aman, terbaca pula tentang kehendak masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan, isu sARA yang tak terlalu mempan, serta partai politik yang diharapkan “terbuka matanya”.
Partai politik sepertinya memang menyadari hal ini. Pernyataan para petingginya yang baik secara langsung atau tidak bisa dianggap sebagai “pengakuan” bahwa pengaruh partai politik tak signifikan dalam menentukan kehendak rakyat. Keinginan para aktifis parpol yang sering mengidentikkan partai sebagai mesin politik andalan, saat ini nyata-nyata sebuah kesalahan. Justru ungkapan yang menyatakan “Partai politik bisa dipilih, tapi tak bisa memilih”, dapat dianggap sebagai sebuah kebenaran.
Cukup “menggelikan”, ditengah “resep” jitu Jokowi-Ahok agar “berkoalisi dengan rakyat” itu, ternyata tak dicerna dan diresapi dengan baik oleh partai pengusungnya. PDIP dan Gerindra.
Kita dapat melihat fenomena yang terjadi. Dalam menyikapi kemenangan Jokowi ini, parpol lain diluar PDIP dan Gerindra, yang sebelumnya menjadi “lawan” karena memiliki calon sendiri pada putaran pertama, serta “berkoalisi” dengan parpol pengusung Foke-Nara pada putaran kedua, lebih menyadari “pelajaran” itu dengan memilih “gencatan senjata”. Kondisi sebagian besar masyarakat yang menaruh harapan besar pada sosok Jokowi membuat mereka mengambil tindakan “logis” dengan menyatakan dukungannya atas kemenangan itu. Pertimbangannya kemungkinan adalah karena memang Jokowi-Ahok patut didukung, ataupun sementara ini mengambil posisi “aman” dengan berada pada “gerbong” rakyat, merapatkan “topeng”nya.
Dalam perspektif yang sedikit berbeda, cukup disayangkan justru sikap PDIP dan Gerindra itu sendiri. Saat parpol lain bersikap “cerdas” dengan pertimbangan mengatupkan “topeng”nya, ternyata kedua partai pengusung Jokowi-Ahok ini malah saling membuka “kedok”nya. Persateruan di antara mereka yang terungkap banyak media menggambarkan secara jelas tentang “motivasi” mereka dalam pilkada DKI Jakarta ini, yaitu “kekuasaan” pada ajang Pilpres 2014 nanti.
Terlihat bahwa kedua partai ini saling berebut untuk lebih merasa berjasa dengan terpilihnya Jokowi-Ahok sebagai pemimpin DKI Jakarta. Semakin meruncing saat ada hasil survey dari SMRC yang merilis mengenai elektabilitas Prabowo (Gerindra) sebagai capres meningkat pasca pilkada ini. PDIP pun berang karena merasa di”tunggangi”, mereka merasa seharusnya partai (capres) mereka lah yang lebih terangkat namanya.
Dan sempat terbuka pernyataan bahwa PDIP “kapok” berkoalisi dengan Gerindra. Ck..ck..ck..., seru juga. Sepertinya pepatah “rebutan balung tanpa isi”, berebut tulang tanpa isi, cukup pantas disesuaikan dengan perilaku kedua partai ini. Akan lebih baik jika mereka berebut untuk menunjukkan “substansi” hubungan partai dan konstituen, bukan saling curiga, dengan mengklaim siapa yang paling berjasa, bahkan merasa ditunggangi dengan kekuatiran “terancam”nya gagal berkuasa. Padahal keduanya sama-sama “menunggangi” sosok Jokowi-Ahok. Mereka lah yang seharusnya beruntung dan berhutang jasa kepada pasangan fenomenal ini.
“ Berkoalisilah dengan rakyat”, tampaknya PDIP dan Gerindra malah melupakan prinsip jitu yang dilantangkan dan dibuktikan oleh kadernya ini.
Salam rakyat.
.
.
C.S.
Namanya juga opini..
Mudah2an Jakarta menjadi lebih baik..
Indonesia semakin baik..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H