Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita dan Pajak: “Minimal dalam Membayar, Maksimal dalam Berteriak!”

1 Maret 2012   04:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:42 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Itu mungkin peribahasa yang lumayan tepat untuk menggambarkan kondisi perpajakan di negeri kita baru-baru ini.

Sebelumnya karena terdeteksi adanya oknum dari instansi yang bertugas mengumpulkan pendapatan utama negara ini, maka secara umum masyarakat seolah mendapat “kesempatan” untuk mengecam, berteriak lantang, pesimis, apriori bahkan adapula yang merasa benar ketika “mengemplang”, katakanlah menghindar dari kewajiban membayar pajak. Bukan hanya sikap pribadi, namun sering ditemui sikap itupun seperti sebuah kampanye karena merasa mendapat pembenaran. Kalimat kekanak-kanakan yang sering terlontar adalah “, Nggak usah bayar pajak, di sana hanya di korupsi/selewengkan”.

Kasus Gayus Tambunan dan Bahasyim yang memang telah terbukti korupsi menjadi hangat kembali setelah mencuat kasus Dhana Widyatmaka, yang ketika menjadi petugas pajak kekayaannya dianggap tak wajar. Meski belum terbukti korupsi, masyarakat seolah-olah mendapatkan “hiburan” untuk mencaci.

Proporsional! Itulah seharusnya yang kita tunjukkan dalam menyikapi kasus-kasus ini. Adanya “kerikil” yang menodai pembenahan yang terus menerus dilakukan oleh kementerian keuangan, dalam hal ini Ditjen Pajak sudah sepatutnya tidak dijadikan alasan untuk mengecam serta mencampakkan kerja keras yang selama ini mereka lakukan.

Sistem terus dibenahi, pelayanan terus ditingkatkan, dengan harapan target pencapaian pemungutan pajak sebagai modal utama pembangunan dapat diandalkan. Dan sebaik apapun sebuah sistem serta reformasi, jika menyangkut ke dalam situasi terkait mental secara pribadi maka tak ada hal yang secara pasti dianggap sempurna.

Perbuatan oknum-oknum itu jelas merupakan tindakan pribadi yang dimanapun dipastikan selalu ada mental-mental yang kurang terpuji. Ketika sebuah pribadi kurang terpuji lalu didukung dengan godaan serta kesempatan, maka perbuatan korupsi itu tetap dimungkinkan terjadi.

Sistem yang solid untuk menutup kesempatan itulah yang Saya yakin terus mereka benahi, di samping pemberian kesejahteraan yang sudah diberikan serta penanaman sikap mental yang baik secara kontinyu dilakukan. Terkait sikap mental ini tentu saja bukanlah semudah membalik telapak tangan, sangat membutuhkan program yang berkesinambungan, bukan hanya mengandalkan pelatihan instant seperti belum lama ini dilakukan banyak instansi. Katakanlah, sangat mustahil mental korup akan dapat dibenahi dengan pelatihan ESQ dua hari.

Secara pribadi, Saya sudah berusaha menunjukkan sikap melalui tulisan yang mudah-mudahan mendekati proporsional. Hal di atas pun semoga dapat dikategorikan sebuah usulan solusi, meski Saya yakin telah dilakukan.

Dan kini saatnya Saya dan rekan-rekan sekalian bercermin dari sisi masyarakat/pribadi pembayar pajak. Kita pun seharusnya memelihara kejujuran kita dalam membayar pajak. Sebagai gambaran, Wajib Pajak (WP) orang pribadi saja di seluruh Indonesia yang secara penghasilan termasuk pihak yang seharusnya membayar pajak, Saya yakin paling banter hanya setengahnya saja yang melaksanakan kewajibannya. Dan dari yang melaksanakan kewajibannya pun, Saya yakin lagi maksimal hanya separuhnya saja yang membayar sesuai yang harus dibayarkan. Rata-rata berusaha bagaimana agar yang dibayarkan itu minimal. Sikap mental inilah yang menjadi bibit godaan ketika sistem itu masih bisa diterobos meski sesempit apapun kesempatannya. Intinya, wajib pajak pun berperan besar dalam penyelewengan ini. Apalagi dari kategori Wajib Pajak Badan ataupun yang khusus.

Nah, ada baiknya ketika kita hendak sekedar mencaci-maki, memandang miring institusi pajak yang telah berusaha terus mereformasi diri, bahkan ada yang lebih parah untuk memboikot pintu pendapatan negara yang paling utama ini, sebaiknya melakukan interospeksi dulu apakah kita benar-benar telah bijak dalam hal pajak.

Jangan sampai kita masih berusaha minimal dalam membayar/melaporkan tapi berteriak maksimal saat ada oknum yang menyelewengkan. Parahnya lagi jika ada yang berteriak lantang, namun seumur-umur tidak pernah membayar pajak penghasilan.

Sangat disayangkan jika masih ada ajakan penuh teriakan “, Stop bayar pajak! Pajak kita hanya dikorupsi!” Ngaca dulu lah, yang berteriak lantang itu selama ini sudah bayar pajak dengan benar belum? Atau jangan-jangan tak pernah bayar pajak tapi keras berteriak?

Mari, tetaplah berusaha membayar pajak, syukur-syukur membayar sesuai dengan aturan yang benar. Ingat, APBN kita masih mengandalkannya sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang paling besar. Jika hanya berteriak-teriak tapi penghasilannya yang layak kena pajak disembunyikan, ke laut sajalah!

Salam ingin bijak taat pajak!

.

.

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun