Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cerita dari DPR (Daerah Pinggiran Rel) Menteng

15 September 2014   03:59 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:41 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14107030661509262202

Pengantar:

Artikel ini sebenarnya saya tulis tahun 2009. Keterangan dalam 'properties' file di folder komputer saya menunjukkan artikel ini saya tulis tanggal 4 April 2009. Saat itu, bersama seorang kawan Amerika yang jatuh cinta pada Indonesia, saya sedang rajin-rajinnya melakukan aksi sosial, turun tangan memberikan inspirasi pada anak-anak di sebuah kampung di Jakarta yang di'judge' sebagai sarang para pengedar narkoba.

====================================

Sebut saja namanya Hendri, pemuda asal perkampungan kumuh di bilangan Menteng itu adalah mantan pengedar narkoba yang kini hidup pengangguran di kampungnya. Ia tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di antara sebuah gang sempit yang hanya cukup dilewati oleh pejalan kaki. Sewaktu saya bertandang ke gubugnya, ia masih berbaring di atas balai-balai tempat tidurnya sambil menonton TV. Hendri belum lama keluar dari penjara Cipinang setelah kira-kira setahun yang lalu ia, ia tertangkap dalam sebuah penggrebegan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan Badan Anti Narkoba dikampung tersebut. Waktu itu, Hendri adalah salah satu dari sekitar 200 pengedar narkoba yang hidup di kampung itu. Meskipun statusnya bukan lagi seorang pengedar, namun Hendri masih mengkonsumsi narkoba. Badannya yang kurus kerempeng menandakan bahwa ia masih aktif sebagai pengguna narkoba.

Hendri masih beruntung jika dibanding teman sekampungnya yang bernama Ryan. Tetangga sebelah gang tersebut dinyatakan secara positif mengidap HIV yang tertular melalui jarum suntik yang ia gunakan saat mengkonsumsi narkoba. Ryan juga masih beruntung karena sekeluarnya dari penjara, ia masih diperkenankan kembali ke kampungnya. Warga kampung sama sekali tidak terlihat memperlakukan Ryan berbeda, meskipun mereka tahu bahwa Ryan adalah seorang pengidap Aids. Terlalu banyak pemuda lain di kampung itu yang seperti Ryan dan Hendri. Rian adalah anak kedua dari tujuh bersudara; dua orang saudaranya telah terlebih dahulu meninggalkannya karena narkoba, sementara satu orang saudara perempuannya kini jarang pulang dan tidak diketahui dimana ia biasanya tinggal. Sekeluarnya dari penjara, Ryan bekerja sebagai pengumpul sampah dari tiap rumah untuk dibuang ke tempat penampungan sampah. Dalam sebulan, Rian bisa mengumpulkan uang sekitar 900 ribu rupiah dari iuran tiap warga.

Dalam kesempatan yang lain, saya bertemu dengan Andre yang tangannya masih di gips akibat luka yang terlalu parah. Seminggu sebelumnya Andre baru saja terlibat dalam tawuran dengan warga di kampung sebelah. Tangannya hampir saja putus terkena sabetan pedang dari lawannya. Kata Andre, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi tawuran demi tawuran lagi pada waktu yang akan datang, mengingat hal tersebut seperti sudah menjadi kebiasaan sejak masa lampau. Hal-hal kecil seperti persoalan kalah main bola, rebutan kekasih, atau saling ejek bisa menjadi pemicu perkelahian antar warga.

Hendri, Ryan, dan Andre adalah potret sebagian besar pemuda di perkampungan kumuh bernama Bonang. Di sebuah perkampungan yang sebagian besar penghuninya adalah orang-orang yang dianggap “sampah” oleh negara, sosok-sosok seperti mereka adalah “normal”. Ada puluhan atau bahkan ratusan pemuda-pemuda lain yang seperti mereka.

Berbagai paradokspun melingkupi perkampungan para veteran drug seller tersebut. Selain lokasinya terletak disekeliling permukiman elit Menteng, Bonang terletak persis di samping taman tugu Proklamasi, tempat di mana proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh sang proklamator Sukarno-Hatta pada tahun 1945. Ironis memang, di lokasi proklamasi tersebut hidup para warga yang seakan dianggap sampah oleh bangsa ini.

Meskipun letak kampung Bonang tidak begitu jauh dari pusat kekuasaan RI, tidak banyak orang atau lembaga yang menaruh perhatian pada mereka. Satu-satunya lembaga yang memberikan perhatian khusus pada perkampungan tersebut adalah Yayasan Nurani Dunia pimpinan Imam Prasodjo. Dengan menggunakan dana yang diperoleh dari CSR beberapa perusahaan, Yayasan Nurani Dunia mempelopori program-program resolusi konflik dan pemberdayaan kampung. Nurani Dunia mempelopori pembangunan sanggar-sanggar kampung (semacam gardu) yang dijadikan sebagai pusat aktifitas warga kampung. Salah satu sanggar yang cukup aktif adalah sangar DPR (Daerah Pinggiran Rel). Disebut DPR karena kampun itu terletak persis di sebelah rel kereta yang menghubungkan pusat Jakarta dengan daerah-daerah sekitarnya. Di sanggar tersebut tersedia fasilitas belajar seperti perpustakaan, alat-alat seni, dan musik. Warga biasa berkumpul di sanggar tersebut untuk mendiskusikan perkembangan kampung dan merencanakan kegiatan-kegiatan.

[caption id="attachment_323987" align="alignnone" width="630" caption="[Di belakang Tugu inilah kampung DPR berada]"][/caption]

Relawan dari Nurani Dunia secara berkala datang ke beberapa sanggar untuk berkomunikasi dengan warga dan menstimulasi perencanaan kegiatan-kegiatan. Adalah Muhammad Jufri, putra asli Bugis jebolan S2 UI ini, salah seorang relawan Nurani Dunia yang paling aktif berinteraksi dengan warga dan mengorganisir kegiatan-kegiatan kampung. Sementara, saya bersama seorang sahabat saat kuliah di Ohio University USA dulu, namanya Angie Kilbane, membantu mengelola sebuah sanggar ajar bagi anak-anak usia SD dan SMP. Sejak lama Angie memang sudah tertarik dengan Indonesia. Saat kuliah dulu, dia secara khusus mengambil kelas Bahasa Indonesia yang memang diajarkan di sana. Dulu saya sering menjadi sparing-partnernya dalam melancarkan Bahasa Indonesianya.

Minimal setiap hari Rabu kami datang ke DPR, menyelenggarakan acara belajar bahasa Inggris bersama di sanggar untuk anak-anak. Sebenarnya, maksud utama kami bukanlah mengajarkan bahasa Inggris. Kami ingin memotivasi anak-anak untuk berpikir maju dalam meraih pendidikan lebih tinggi. Kami ingin memberika inspirasi kepada mereka. Jikapun mereka ditakdirkan terlahir diperkampungan kumuh dan menjadi anak-anak dari para pecandu narkoba, copet, dan jambret, dengan semangat tinggi dan pendidikan yang bagus akan menjadikan masa depan lebih baik. Siapa tahu, dari perkampungan kumuh kompleks DPR akan terlahir pemimpin Indonesia masa depan yang peka terhadap penderitaan kaum miskin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun