Mohon tunggu...
cholifatulilma
cholifatulilma Mohon Tunggu... mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Syari'ah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Review buku "Peradilan Agama di Indonesia" karya Drs. H.A Basiq Djalil S.H., M.A.

29 September 2025   20:27 Diperbarui: 29 September 2025   20:30 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nama : Cholifatul Ilma

Kelas  : HKI 5A

Buku berjudul Peradilan Agama di Indonesia yang ditulis oleh Drs. H. A. Basiq Djalil, S. H. , M. A. merupakan salah satu karya yang sangat penting, buku ini secara mendalam membahas mengenai evolusi, posisi, dan kekuasaan peradilan agama dalam hukum di Indonesia. Penulis menjelaskan sejarah panjang peradilan agama, dimulai dari zaman pra-kolonial, masa penjajahan Belanda dan Jepang, awal periode kemerdekaan, hingga era modern dengan munculnya Undang-Undang Peradilan Agama Tahun 1989 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Kompilasi Hukum Islam. Buku ini tidak hanya memberikan penekanan pada aspek sejarah, tetapi juga menggarisbawahi sisi normatif, yuridis, dan praktis dari peradilan agama, termasuk hubungannya dengan Mahkamah Agung dan keistimewaan Mahkamah Syar'iyah di Aceh.           

Bab pertama yang ditulis dalam buku ini berjudul Peradilan Agama. Dalam bab ini menguraikan prinsip-prinsip utama peradilan agama dalam kerangka hukum di Indonesia. Penulis menyampaikan pengertian, unsur, dan maksud dari peradilan agama, sekaligus menjelaskan perbedaan antara istilah peradilan Islam dan peradilan agama. Penjelasan ini juga menekankan bagaimana peradilan agama berperan dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya yang berhubungan dengan hukum keluarga, wakaf, dan warisan, dalam konteks hukum positif negara. Bab ini menjadi dasar yang sangat penting untuk memahami keberadaan peradilan agama dalam keragaman hukum yang ada di Indonesia.

Kekuasann kehakiman dan undang-undang peradilan agama dijelaskan juga dalam buku ini tepatnya pada bab 2. Penulis menjelaskan konsep tentang kekuasaan kehakiman sebagai suatu kekuasaan yang independent dalam sistem pemerintahan Indonesia. Peradilan agama dianggap sebagai salah satu cabang peradilan di bawah Mahkamah Agung. Penjelasan pokoknya adalah munculnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang menjadi landasan hukum formal bagi eksistensi peradilan agama. Undang-undang ini menegaskan sistem, kewenangan, dan tempat peradilan agama dalam kerangka hukum nasional.

Bab 3 berjudul Peradilan Agama Sebelum Tahun 1882. Pada periode ini, peradilan agama telah ada di kalangan masyarakat Islam di Nusantara meskipun belum diatur oleh pemerintah. Institusi ini dikelola oleh qadhi atau penghulu yang diangkat oleh sultan atau penguasa lokal, dengan tanggung jawab utama dalam hal pernikahan, perceraian, rujuk, warisan, dan wasiat. Keputusan yang diambil oleh qadhi dihormati dan dipatuhi karena berlandaskan pada kebutuhan sosial dan hukum Islam yang berlaku, sering kali berkolaborasi dengan tradisi setempat. Pada waktu itu, pengadilan agama tidak hanya berfungsi untuk menyelesaikan perselisihan hukum, tetapi juga menjalankan peran sosial seperti pencatatan pernikahan dan distribusi warisan. Bab ini menegaskan bahwa pengadilan agama telah mapan dalam kehidupan masyarakat sebelum akhirnya mendapatkan pengakuan resmi melalui Staatsblad tahun 1882.

Bab 4 menguraikan tentang Peradilan Agama Berdasarkan Staatsblad 1882. Pada era penjajahan Belanda, Staatsblad Tahun 1882 diterbitkan sebagai langkah awal pengakuan resmi dari negara terhadap peradilan agama. Ketentuan ini mengatur bahwa peradilan agama hanya memiliki kewenangan untuk menangani kasus perkawinan dan warisan bagi umat Islam, dengan batasan wilayah di beberapa area di Jawa dan Madura. Meskipun diakui keberadaannya, kekuasaan peradilan agama sangat terbatas karena keputusan yang diambil masih memerlukan executoriale verklaring dari pengadilan negeri agar dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, meskipun peradilan agama secara resmi mulai diakui dalam sistem hukum kolonial, posisinya belum sepenuhnya mandiri dan masih terikat pada peradilan umum.

Selanjutnya dibahas mengenai Peradilan Agama Tahun 1937--1945 pada bab 5, dalam bab ini dijelaskan bahwa posisi peradilan agama semakin tertekan setelah terbitnya Staatsblad 1937 No. 116. Regulasi ini membatasi kekuasaan pengadilan agama hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian, sementara isu-isu mengenai warisan, hibah, dan wakaf diserahkan kepada pengadilan negeri. Akibat kebijakan ini, peran peradilan agama yang sebelumnya cukup luas semakin menyusut dan sangat bergantung pada izin dari pemerintah kolonial. Selain itu, bab ini juga mengulas bagaimana keadaan politik dan hukum selama pendudukan Jepang tidak memberikan banyak kesempatan untuk perkembangan baru bagi peradilan agama, sehingga posisinya tetap lemah hingga menjelang masa kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan, posisi peradilan agama berada dalam keadaan yang tidak pasti. Meskipun UUD 1945 telah mengatur mengenai kekuasaan peradilan, konstitusi tidak secara spesifik menyebutkan pengadilan agama sebagai salah satu lembaga peradilan. Situasi ini menyebabkan keberadaannya sering diperdebatkan dan legitimasi hukum yang dimilikinya dipertanyakan. Dalam praktiknya, pemerintah masih mengandalkan landasan hukum dari masa kolonial, yaitu Staatsblad 1882 dan 1937, untuk mempertahankan keberadaan peradilan agama. Selama periode ini, lembaga peradilan agama menghadapi hambatan serius seperti keterbatasan kewenangan, kurangnya dasar hukum nasional yang kokoh, serta hubungan yang tidak jelas dengan pengadilan negeri. Meskipun begitu, pengadilan agama tetap eksis sebagai lembaga resmi yang mengurus kasus-kasus umat Islam, meskipun belum mendapatkan pengakuan sepenuhnya hingga periode selanjutnya.

Peradilan Agama Tahun 1957--1974. Ketika memasuki era Demokrasi Terpimpin, keberadaan peradilan agama mengalami pengaruh yang cukup besar dari perkembangan politik serta kebijakan hukum dari pemerintah. Pada periode ini, disahkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang bertujuan untuk menyatukan sistem peradilan di Indonesia, namun di sisi lain menimbulkan diskusi mengenai posisi dan wewenang peradilan agama. Undang-undang ini tidak secara tegas menghapuskan, tetapi juga tidak memberikan penguatan yang signifikan terhadap lembaga tersebut. Hal ini menyebabkan peradilan agama tetap dalam posisi yang lemah dan sering kali bergantung pada keputusan lokal atau tafsiran oleh pemerintah daerah. Basiq Djalil menyoroti bahwa meskipun keadaan ini menjadikan peradilan agama belum berdiri teguh secara struktural, lembaga tersebut tetap ada dan memenuhi kebutuhan umat Muslim, sebelum akhirnya memasuki fase baru dengan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974.

Peradilan Agama Tahun 1974--1989. Dalam rentang waktu ini, peradilan agama mulai mendapatkan penguatan yang lebih nyata melalui munculnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya. Undang-undang ini menegaskan bahwa bagi masyarakat Muslim, masalah perkawinan berada dalam kompetensi peradilan agama, kendati pencatatan pernikahan tetap dilakukan oleh Kantor Urusan Agama. Selain itu, bagian ini juga menjelaskan bagaimana keberadaan peradilan agama semakin dikuatkan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menempatkan peradilan agama dalam salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Meskipun penguatan ini belum sepenuhnya mengatasi isu kewenangan, bagian ini menunjukkan bahwa sejak pertengahan era Orde Baru, posisi peradilan agama menjadi lebih jelas dalam kerangka hukum nasional, terutama terkait dengan perkawinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun