Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hardiknas 2016

7 Mei 2016   18:46 Diperbarui: 7 Mei 2016   18:56 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Berikan aku pena dan kertas, maka aku akan mengubah dunia ini!”

            Negara yang maju adalah negara dengan mutu pendidikan yang tinggi. Impian yang tinggi hanya dapat di implementasikan melalui pendidikan. Dulu negara kita terjajah, salahsatu penyebabnya adalah akibat pendidikan anak bangsa yang rendah. Akan tetapi ketika pendidikan sudah mulai menyentuh rakyat kebanyakan, pola pandang anak negeri itu kemudian mampu memerdekakan bangsa itu!

            Lama setelah kemerdekaan itu dicapai, mutu pendidikan kita kemudian sangat jauh meningkat drastis. Kini sangat sulit mencari orang-orang yang buta aksara. Pendidikan telah mampu mencerdaskan anak-anak negeri ini, setara dengan negara maju lainnya.

Akan tetapi, persoalan kurikulum pendidikan nasional selalu menimbulkan polemik perdebatan bagi semua pihak terkait, dalam rangka untuk lebih mencerdaskan anak bangsa.

Kita seharusnya bertanya, apa yang sebenarnya ingin kita capai?

Tiga dekade lalu terjadi “Habibie Syndrome” Anak-anak ingin seperti Habibie yang pintar, ingin menjadi Profesor, dan ingin membuat pesawat terbang! Anak-anak kemudian mengidolakan orang pintar! Lantas semua sekolah berjuang “memasung” murid agar menjadi orang pintar.

            Dulu ada Orangtua yang memberikan les privat piano tambahan bagi anaknya yang les piano di sekolah musik, diluar waktu si anak bersekolah, agar anaknya bisa menjadi pintar bermain piano. Apakah kelak anak itu akan bermain di “Royal Philharmonic Orchestra?” Tidak! Anak itu akan membantu papanya mengurusi pabrik garment mereka kelak. Dulu mamanya sangat ingin menjadi seorang pianis, tetapi mereka sangat miskin, bahkan untuk makan sekalipun. Jadi anaknya bermain piano untuk memuaskan hasrat mamanya saja.

            “Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak!” Mereka jatuh miskin, dan anak itu berhenti sekolah di UK. Anak itu kemudian terlihat di Pasar seni, “menjual lukisan” untuk menyambung hidupnya. Dia seorang pelukis handal dan sangat mencintai dunianya.

            Negeri ini tidak pernah kekurangan orang pintar. Tetapi negeri ini kini kehilangan “orang-orang Visioner yang bisa melihat jauh ke depan”

Pintar saja tidak cukup untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan! Dibutuhkan kearifan dan visi yang mampu menaklukkan “kepintaran disiplin ilmu” mereka.

Itulah sebabnya Pintar saja tidak cukup untuk mengisi kemerdekaan itu, karena pada ahirnya “Orang-orang pintar” akan “menggagahi” orang-orang yang menurut mereka “Kurang pintar” dan itulah yang terjadi pada saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun