Mohon tunggu...
Reinhard Hutabarat
Reinhard Hutabarat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat kata dan rasa...

Menulis untuk senang-senang...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Surat Tanpa Prangko Bu Retno kepada Mendikbud (Bagian II)

9 Agustus 2020   20:35 Diperbarui: 9 Agustus 2020   20:58 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nadiem Makarim, sumber: idntimes.com

Misalnya pada kasus Bansos kepada warga terdampak Covid-19 di DKI Jakarta, dimana gubernurnya menyerah lalu meminta tolong kepada Mensos. Padahal warga itu kebanyakan kena PHK.

Lalu mengapa gubernur tidak meminta tolong kepada Menteri Ketenagakerjaan? Karena ia pasti akan diberikan "alamat palsu." Warga terdampak itu adalah masalah sosial, oleh karena itu yang dihubungi gubernur adalah Mensos. Karena "alamatnya bener" maka bansos Mensos tersebut segera cair.

Ibu ini kemudian meminta Kemendikbud membatalkan program POP, lalu menggunakannya untuk membeli kuota internet dan gadget bagi anak-anak miskin dan para guru honorer. Astaganaga!

Dikira ibu ini Kemendikbud bisa seenaknya mengubah-ubah APBN seenak udel, tanpa menjadi preseden dan temuan Kejaksaan atau KPK?

Di APBN ditulis anggaran untuk pelatihan guru. Namun pengeluarannya untuk membeli kuota internet dan hape Mitho type 007! Lalu bagaimana pertanggungjawabannya? Ibu sih bisa saja menjawab, tetapi Mendikbud juga yang harus menanggungnya.

Anggaran untuk pelatihan guru itu sumbernya dari APBN. Sedangkan bantuan untuk penyelenggaran pendidikan di daerah itu bersumber dari APBD. Kalaupun dana APBD tidak mampu untuk itu, maka Pemda meminta bantuan kepada Mensos, bukan kepada Mendikbud. Bu, yang jadi "sinterklas" itu bukan Mendikbud tetapi Mensos!

Terkait kurikulum ini memang masalah klasik sejak lama yang belum bisa terjawab sampai kini. coba kita bandingkan misalnya, SMA Negeri 70 Jaksel yang punya kelas Internasional dan kelas akselerasi itu dengan sebuah SMA Negeri, katakanlah dari sebuah Kecamatan di Kabupaten Papua Barat misalnya. 

Mungkin kedua sekolah ini memakai kurikulum yang sama. Namun adalah fakta bahwa ada perbedaan mutu diantara kedua sekolah itu. Tentu saja ada beberapa faktor yang dapat menjelaskannya, yang tak perlu diulas di sini.

Saat ini kita hidup pada zaman tak normal. Tapi orang sering lupa, atau pura-pura lupa. Bagaimana mungkin kita mengharapkan hal normal dari situasi yang tak normal!

Pada situasi ini, orang-orang lalu mempertanyakan kurikulum adaptif yang akan dipakai agar tidak terjadi ketimpangan pendidikan secara nasional. Whatt?

Pada zaman normal saja terjadi ketimpangan pendidikan secara nasional, konon pula pada zaman tak normal! Sejak dulu teori evolusi Charles Darwin sudah berlangsung dan kini semakin terlihat nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun