Setiap tanggal 24 September, kita punya perayaan yang sering kalah pamor dengan ulang tahun artis K-pop: Hari Tani Nasional. Padahal tanpa petani, jangankan nasi padang—mie instan favorit anak kos pun bisa hilang dari rak minimarket. Bayangkan kalau suatu hari kita buka rice cooker, isinya bukan nasi, tapi notifikasi bertuliskan: “Maaf, persediaan beras habis. Silakan beralih ke kentang impor.” Seram, kan?
Masalahnya, di balik perayaan Hari Tani, kita sedang menghadapi tiga isu besar: krisis regenerasi petani, krisis lahan, dan tantangan ketahanan pangan. Mari kita kupas dengan gaya warung kopi, biar enak ditelan.
Coba cek data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata usia petani Indonesia sudah di atas 50 tahun. Artinya, kalau jadi artis, mereka sudah masuk kategori senior award. Sementara generasi milenial lebih banyak bercita-cita jadi YouTuber atau selebgram. Boro-boro mau nyangkul, disuruh siram bunga di depan rumah aja kadang sudah ngeluh, “Duh, panas banget, mah!”
Tapi jangan salah, ada juga anak-anak muda keren yang memilih jadi petani milenial. Mereka ini biasanya bukan hanya tahu cara menanam, tapi juga jago bikin konten. Sawah dijadikan studio alam, cangkul jadi properti syuting, dan hasil panen di-posting di Instagram dengan caption motivasi: “Seperti padi, semakin berisi semakin merunduk. #PetaniMilenial #FarmingIsCool”.
Lebih dari itu, petani milenial punya semangat menggabungkan tradisi dengan teknologi. Ada yang pakai drone buat menyemprot hama, ada juga yang bikin toko online untuk jualan sayur segar langsung ke konsumen kota. Menurut FAO (2021), regenerasi petani muda adalah salah satu kunci menyelamatkan sistem pangan dunia. Jadi, jangan anggap enteng mereka yang memilih berkotor-kotor di sawah. Mereka adalah influencer ketahanan pangan masa depan.
Nah, ini penyakit lama yang makin parah: alih fungsi lahan. Sawah subur berubah jadi perumahan subsidi, komplek elite, atau minimarket yang jaraknya cuma selemparan sandal. Di Jawa, data Kementan mencatat rata-rata kita kehilangan sekitar 150 ribu hektare sawah setiap tahun akibat alih fungsi.
Kalau ini dibiarkan, bisa jadi generasi cucu kita hanya mengenal sawah dari buku pelajaran, sama nasibnya kayak dinosaurus. Anak-anak mungkin bakal bertanya, “Ayah, sawah itu apa?” lalu orang tuanya jawab, “Itu, Nak, tempat orang dulu selfie pakai caping sebelum ada mal.”
Solusinya tentu bukan sekadar melarang orang jual tanah. Kita butuh kebijakan yang lebih serius, misalnya insentif bagi petani yang mempertahankan lahan, atau mempercepat program reforma agraria agar tanah tidak hanya dikuasai segelintir orang. Karena kalau tanah sudah habis, sehebat apa pun petani milenial dengan gadget dan drone-nya, tetap saja tidak ada lahan untuk ditanami.
Ketahanan pangan sering disalahpahami hanya soal “ada beras atau tidak.” Padahal menurut Undang-Undang Pangan No. 18/2012, ketahanan pangan berarti ketersediaan, akses, dan keterjangkauan pangan yang bergizi seimbang. Artinya, meski beras melimpah, kalau orang tidak bisa beli karena harganya selangit, ya tetap rawan pangan.
Krisis iklim juga bikin tantangan makin berat. Cuaca makin tidak bisa diprediksi. Kadang musim hujan datang telat, kadang malah banjir bandang merusak sawah. FAO memperingatkan bahwa perubahan iklim bisa menurunkan produktivitas pangan global hingga 30% pada 2050. Jadi, kalau sekarang kita masih santai makan nasi goreng tengah malam, jangan-jangan 25 tahun lagi menunya diganti roti jagung impor.