Beberapa waktu lalu, langit kembali mengajarkan kita sesuatu: gerhana bulan total, atau yang sering disebut blood moon. Fenomena ini membuat bulan yang biasanya pucat bersinar putih tiba-tiba berubah warna menjadi merah tembaga. Para astronom menjelaskan, itu terjadi karena cahaya matahari terpecah dan dibiaskan oleh atmosfer bumi, lalu hanya warna merah yang mencapai permukaan bulan. Singkatnya, ini murni peristiwa sains. Namun, bagi manusia, gerhana tidak pernah berhenti hanya menjadi perkara astronomi. Ada lapisan sosial, ritual, bahkan spiritual yang ikut menyertainya.
Sejak zaman kuno, gerhana bulan dianggap sebagai peristiwa luar biasa. Orang Jawa menyebutnya "grahana," dan di masa lalu, ia kerap dikaitkan dengan mitos Batara Kala yang melahap bulan. Di Cina, kisah naga langit menelan bulan juga populer. Sementara di dunia Islam, gerhana bulan---sebagaimana dicatat dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim---dikaitkan dengan ajakan Nabi Muhammad SAW untuk memperbanyak doa, dzikir, dan shalat khusuf. Dari sini terlihat jelas, setiap peradaban mencoba memberi makna pada gelap-merahnya bulan yang seolah sedang terluka.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan jiwa sosial dan spiritual kita?
Gerhana dan Ritual Kolektif
Gerhana bulan seringkali memicu lahirnya ritual bersama. Di desa-desa Jawa, masih ada tradisi memukul kentongan atau lesung saat gerhana. Dulu, dipercaya suara itu bisa "mengusir" Batara Kala. Meski sekarang kepercayaan itu mulai luntur, ritual memukul lesung justru membentuk solidaritas sosial. Orang-orang berkumpul, melakukan sesuatu bersama, dan membagi rasa kagum sekaligus cemas terhadap alam.
Di sisi lain, dalam tradisi Islam, shalat gerhana (shalat khusuf) bukan sekadar ibadah personal. Shalat itu dilaksanakan berjamaah, dengan doa dan bacaan yang lebih panjang dari biasanya. Ada pesan simbolik: ketika langit menunjukkan tanda kebesaran Allah, manusia diingatkan untuk kembali pada kebersamaan, tunduk, dan merenung. Ritual keagamaan ini bukan hanya tentang doa, tapi juga menata relasi sosial---bahwa kita semua sama-sama kecil di hadapan semesta.
Blood Moon dan Jiwa Sosial
Fenomena langit, seperti blood moon, sejatinya bisa memperkuat kesadaran sosial kita. Di era digital sekarang, orang biasanya sibuk dengan layar gawai, tetapi ketika gerhana terjadi, mereka mendongak ke langit yang sama. Entah di desa atau kota, orang terhubung oleh rasa takjub. Ini mengingatkan pada konsep collective effervescence yang diperkenalkan mile Durkheim: momen ketika orang-orang larut dalam pengalaman kolektif yang memunculkan rasa keterikatan sosial.
Fenomena alam bisa mengajarkan kita: hidup tidak hanya soal individu, tapi juga tentang merayakan kebersamaan. Bukankah kita sering merasa lebih bahagia ketika menonton gerhana bersama-sama ketimbang seorang diri? Maka, blood moon menjadi semacam cermin sosial: bahwa kekaguman kita pada alam akan lebih bermakna jika dibagi dengan orang lain.
Gerhana sebagai Refleksi Spiritual