Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setidaknya Jangan Jadi Beban Negara

21 Agustus 2025   10:16 Diperbarui: 21 Agustus 2025   10:16 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya gotong royong wujud kebersamaan warga | www.nongkrong.co

Di desa kecil, ada seorang bapak yang setiap kali ada kerja bakti selalu datang paling pagi. Ia tidak banyak bicara, tapi tangannya cepat bergerak: mengangkat cangkul, meratakan tanah, atau sekadar mengangkut batu. Sementara di sudut lain, ada pula tetangga yang datang dengan sandal jepit, duduk di kursi plastik, lalu berkomentar, “Wah, kalau gotnya digali agak dalam pasti lebih awet.” Bedanya, yang pertama membuat got benar-benar jadi, yang kedua hanya menambah suara tanpa tenaga.

Cerita kecil ini bukan hal asing di kampung. Kita sering menemukan orang-orang yang rajin memberi tenaga, sebagian memberi logistik, sebagian lain cukup hadir sebagai “penonton”. Kalau ditanya, mereka biasanya menjawab enteng: “Lha wong negara saja nggak bisa beres ngurusin rakyatnya, kok kita disuruh repot?”

Padahal, kalau ditarik ke logika sederhana, negara itu sejatinya kumpulan dari kita semua. Kalau di level RT saja masih banyak yang maunya menerima tanpa mau memberi, bagaimana di level negara kita bisa berharap semuanya beres?

Mari kita lihat contoh lain. Di keluarga, ada anak muda yang sudah lulus SMA. Bukannya berusaha mencari kerja atau kursus, ia lebih suka rebahan di kamar, main gawai, lalu sesekali minta uang rokok ke orang tuanya. Setiap kali ditanya kapan mulai bekerja, jawabannya, “Nanti juga ada rezeki sendiri.” Orang tuanya mengelus dada, tapi dalam hati merasa terbebani.

Hal serupa juga terjadi dalam urusan sampah rumah tangga. Sebagian warga dengan ringan tangan membuang sampah di sungai. Alasannya sederhana: praktis. Namun ujung-ujungnya negara yang harus keluar biaya besar untuk membersihkan sungai, mengatasi banjir, atau membangun tanggul. Sesuatu yang seharusnya bisa dicegah dengan kebiasaan kecil di rumah, malah menumpuk jadi beban besar.

Kesehatan juga begitu. Banyak orang gemar mengonsumsi makanan instan, gorengan, dan minuman manis. Ketika sakit, langsung mengandalkan layanan BPJS. Padahal kalau sejak awal mau jalan kaki tiap pagi, minum air putih cukup, dan makan sayur, bukan hanya badan yang sehat, negara pun hemat anggaran kesehatan.

Semua contoh ini tampak remeh. Tapi jika ditumpuk berjuta-juta kali lipat di seluruh Indonesia, ia menjelma menjadi beban negara yang tidak kecil.

Di masa lalu, desa-desa punya cara bijak menghindari hal itu. Lumbung padi, misalnya. Setiap panen, warga menyisihkan sebagian gabah untuk disimpan bersama. Jadi ketika paceklik, tidak perlu menunggu bantuan pemerintah. Cukup buka lumbung desa, semua bisa selamat.

Gotong royong pun jadi tradisi. Jalan desa rusak, warga patungan memperbaiki. Ada rumah roboh, tetangga datang membantu membangun. Tidak ada yang berpikir, “Tunggu bantuan negara saja.” Filosofi ini, kalau ditarik ke zaman sekarang, sesungguhnya bisa mengurangi beban negara.

Amartya Sen (1999) dalam bukunya Development as Freedom menyebut bahwa pembangunan sejati adalah ketika masyarakat punya kemampuan untuk mandiri, bukan hanya ketika negara rajin memberi bantuan. Artinya, warga bukan hanya penerima, tapi juga aktor utama pembangunan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun