Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Penulis tinggal di Bojonegoro

Setiap perjalanan adalah peluang untuk menemukan hal baru, menghadapi tantangan, dan menemukan kekuatan dalam diri. Jangan mengeluh tentang perjuanganmu. Bersyukurlah karena kamu masih diberi kesempatan untuk berjuang.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Healingku Menulis

10 Juli 2025   09:18 Diperbarui: 10 Juli 2025   19:35 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Healingku Menulis | www.rri.co.id

Ada banyak cara orang-orang menambal luka batin. Ada yang jalan-jalan ke Bali, staycation di hotel berbintang, ada pula yang curhat di media sosial sambil menyelipkan lirik lagu galau. Tapi bagiku, healing terbaik adalah menulis. Bukan karena aku merasa bakatku luar biasa, tapi karena menulis adalah cara paling jujur untuk berdamai dengan diri sendiri---murah, merdeka, dan memberi makna.

Aku tidak memulai kebiasaan ini dengan niat mulia seperti ingin mengubah dunia. Awalnya hanya untuk tidak gila. Seiring waktu, menulis menjadi semacam pelampiasan sekaligus pengingat bahwa aku masih hidup, masih punya nalar, masih bisa merangkai kata-kata meski hidup kadang terasa absurd.

Tapi aku tak sendiri. Banyak yang menemukan "kesembuhan" dalam menulis. Sebagian dari mereka bahkan menjadi guru, meski mereka tak pernah menyatakan diri sebagai guru. Aku menyebut tiga di antaranya: Pak Dahlan Iskan, Mas Iqbal Aji Daryono, dan Pak AS Laksana. Mereka tidak hanya menulis, tapi memperlihatkan bagaimana menulis bisa menjadi jalan hidup---sebuah jalan yang menyehatkan mental, memperkaya jiwa, dan kadang, jika beruntung, bisa lebih dari membayar tagihan listrik.

Siapa tak kenal Pak Dahlan Iskan? Wartawan senior, mantan menteri, bos media, penerobos banyak batas. Tapi di luar semua jabatan itu, ia adalah penulis harian yang tak kenal lelah. Di usianya yang tidak muda, ia masih rutin menulis Disway---kolom reflektif yang membentang dari isu politik hingga potret kehidupan sehari-hari.

Banyak yang kagum pada isi tulisannya, tapi aku justru lebih kagum pada disiplin-nya. Setiap hari. Setiap pagi. Tanpa putus. Menulis jadi ritual, bukan sekadar aktivitas. Dari beliau, aku belajar bahwa konsistensi menulis bukan soal semangat, tapi soal komitmen pada diri sendiri. Ia tidak sedang menyenangkan pembaca, tapi menyeimbangkan hidupnya sendiri.

Ada semacam healing power dalam rutinitas itu. Karena dalam menulis, seseorang bisa mengelola pikirannya yang berantakan, menata perasaannya yang kusut, dan melatih empatinya dengan melihat dunia dari banyak sudut pandang. Bukankah itu bentuk terapi paling sederhana?

Kalau Pak Dahlan adalah guru dalam hal konsistensi dan keberanian, maka Mas Iqbal adalah guru dalam bercerita. Gaya menulisnya story-telling sekali. Kita seperti diajak duduk lesehan, ngopi bareng, dan mendengarkan cerita ringan yang ternyata menyimpan kritik tajam, ironi, bahkan refleksi mendalam.

Dalam bukunya Lelaki Sunni di Kota Syi'ah atau dalam tulisan-tulisannya di beberapa buku dan media onlen, Mas Iqbal kerap memulai tulisan dari pengalaman pribadi---yang kadang sangat receh: soal jadwal ronda malam, mengantar sekolah, atau jalan-jalan keliling Indonesia. Tapi dari situ, ia mengajak kita merenungi hal-hal besar: toleransi, budaya, kemanusiaan.

Aku belajar bahwa menulis tak selalu harus ilmiah atau menggurui. Menulis bisa menjadi cara untuk menyentuh orang lain secara halus dan humanis. Dan justru dalam kelembutan itu, penyembuhan terjadi---baik untuk penulis maupun pembaca. Karena cerita adalah jembatan antara hati yang luka dan pikiran yang ingin mengerti.

Satu lagi guru yang sering membuatku tersentuh adalah Pak AS Laksana. Ia tidak terlalu sering tampil, tidak ramai di media sosial, tapi tulisannya dalam bentuk esai atau cerpen selalu mengandung keheningan. Gaya menulisnya kontemplatif, seperti mengajak kita duduk bersila di tepi danau dan merenung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun