Beberapa tahun terakhir, dunia kita dirajai oleh layar. Mulai dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, mata kita nyaris tak lepas dari gawai. Buku teks ditinggalkan, digantikan PDF dan e-book yang bisa dibuka kapan saja. Catatan manual kalah pamor oleh aplikasi pencatat digital.
Tapi, belakangan ada angin segar berembus: tren kembali ke buku teks dan tulisan tangan mulai merekah---pelan, tapi pasti.
Aneh? Tidak juga. Justru ini adalah bentuk perlawanan kecil yang bermakna terhadap era yang serba cepat, instan, dan terlalu digital.
Saya ingat masa sekolah dulu. Membuka buku teks yang baunya khas, menyusuri halaman demi halaman, menandai bagian penting dengan stabilo warna-warni, menulis catatan tangan di buku tulis bergaris tipis---semuanya menghadirkan sensasi yang sekarang terasa mewah.
Ada interaksi fisik yang tidak bisa digantikan oleh mengetuk layar. Ketika kita menulis dengan tangan, sebenarnya kita sedang "bernegosiasi" dengan isi pikiran kita sendiri.
Kita memilih kata dengan sadar, menciptakan ritme, bahkan terkadang mengkritisi isi buku sambil menuliskannya ulang dengan versi kita.
Di tengah dunia yang semakin digital, mengapa tren ini kembali?
Pertama, alasan kognitif.
Menulis tangan terbukti secara ilmiah membantu daya ingat. Sebuah studi dari University of California dan Princeton menyebutkan bahwa mahasiswa yang mencatat dengan tangan lebih mampu memahami materi ketimbang mereka yang mengetik.
Tulisan tangan memaksa otak menyaring informasi terlebih dahulu sebelum menuangkannya ke kertas. Sementara mengetik sering kali membuat kita asal salin, tanpa proses kritis.