Bulan Ramadan hampir berakhir. Umat Muslim di seluruh dunia bersiap menyambut Idul Fitri dengan suka cita. Tapi, di sela-sela euforia ini, ada satu perayaan lain yang seolah datang dengan cara yang sangat kontras: Hari Raya Nyepi.
Bayangkan, di tengah persiapan lebaran yang penuh dengan riuh rendah belanja, masak-memasak, dan lalu lintas yang macet, ada sekelompok orang yang justru memilih untuk diam, mematikan lampu, dan bahkan tidak bepergian sama sekali. Sebuah ironi yang menarik, bukan? Seakan-akan, di antara hiruk-pikuk dunia yang semakin bising, Nyepi hadir sebagai sebuah pengingat bahwa dalam diam, ada makna yang bisa kita temukan.
Nyepi: Hari Raya dalam Keheningan
Nyepi, yang dirayakan oleh umat Hindu, adalah perayaan Tahun Baru Saka yang berbeda dari perayaan tahun baru pada umumnya. Jika di banyak tempat perayaan tahun baru ditandai dengan pesta kembang api dan perayaan meriah, Nyepi justru dilakukan dengan cara yang bertolak belakang: berdiam diri, menahan diri dari aktivitas, dan membiarkan dunia beristirahat sejenak.
Umat Hindu menjalankan Catur Brata Penyepian, yang terdiri dari empat larangan utama: amati geni (tidak menyalakan api atau listrik), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan). Ini bukan sekadar ritual tanpa makna, tetapi sebuah perjalanan spiritual untuk membersihkan diri, mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa, serta menjaga keseimbangan alam dan manusia.
Antara Nyepi dan Ramadan: Dua Jalan Menuju Kesadaran
Jika diperhatikan, Nyepi dan Ramadan memiliki benang merah yang sama: pengendalian diri. Selama Ramadan, umat Islam berpuasa, menahan diri dari makan, minum, serta segala hal yang bisa membatalkan puasa. Esensi dari puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga latihan spiritual untuk mengendalikan hawa nafsu. Sementara itu, Nyepi juga merupakan latihan pengendalian diri, di mana seseorang tidak hanya berpuasa dari makanan, tetapi juga dari berbagai aktivitas duniawi.
Ada satu hal menarik dari Nyepi: tidak hanya manusia yang beristirahat, tetapi seluruh lingkungan juga ikut beristirahat. Jalanan kosong, listrik padam, bahkan bandara internasional di Bali pun berhenti beroperasi selama 24 jam. Ini adalah contoh nyata bagaimana manusia bisa berkontribusi pada keseimbangan alam, memberikan ruang bagi bumi untuk "bernapas" sejenak. Sementara itu, Ramadan juga memiliki aspek sosial yang kuat: berbagi dengan sesama, membersihkan diri dari dosa, dan mempererat hubungan antar sesama manusia.
Menyepi dalam Kehidupan yang Berisik
Di era digital ini, keheningan semakin sulit ditemukan. Notifikasi media sosial, rapat daring, berita yang terus mengalir tanpa henti---semua membuat kita semakin jauh dari keheningan. Kita sibuk dengan informasi, tapi lupa memberi ruang bagi diri sendiri untuk berpikir dan merenung.