Menjelang hari raya, suasana di pusat perbelanjaan berubah drastis. Mall, pasar tradisional, dan toko online seolah berlomba-lomba menarik perhatian konsumen dengan diskon besar-besaran. Orang-orang memadati tempat-tempat ini, rela berdesakan demi baju baru, kue kering, atau sekadar memenuhi daftar belanja yang seakan tak ada habisnya. Fenomena ini bukan sekadar perilaku konsumtif belaka, tetapi juga bagian dari tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat. Namun, pernahkah kita bertanya, sejak kapan kebiasaan ini dimulai? Apakah berbelanja menjelang hari raya adalah budaya yang murni lahir dari tradisi, atau justru bagian dari strategi kapitalisme modern?
Sejarah Tradisi Belanja Menjelang Hari Raya
Tradisi berbelanja sebelum hari raya sudah berlangsung selama berabad-abad. Jika menilik sejarah, kebiasaan ini dapat ditemukan di berbagai peradaban. Dalam konteks Islam, sejak zaman Nabi Muhammad, umat Muslim sudah diajarkan untuk menyambut Idul Fitri dengan kebersihan dan kerapian. Salah satu hadits menyebutkan bahwa Nabi mengenakan pakaian terbaiknya pada hari raya, meski tidak selalu berarti baju baru. Tradisi ini kemudian berkembang dalam masyarakat Muslim dengan kebiasaan membeli pakaian baru, makanan istimewa, serta berbagai persiapan lainnya sebagai bentuk penghormatan terhadap hari kemenangan.
Di Nusantara, kebiasaan ini semakin mengakar seiring dengan berkembangnya tradisi lokal. Dalam budaya Jawa, misalnya, dikenal tradisi nyadran, yaitu membersihkan makam leluhur sebelum Ramadan yang sering kali diiringi dengan persiapan kebutuhan hari raya. Sementara di masyarakat Minang, tradisi pulang basamo (pulang kampung bersama) menjelang Lebaran mendorong peningkatan konsumsi, baik untuk perjalanan maupun kebutuhan di kampung halaman.
Pada masa kolonial, kebiasaan belanja sebelum hari raya mulai dipengaruhi oleh ekonomi pasar. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem perdagangan modern, yang kemudian melahirkan pasar-pasar besar dan toko-toko yang menyediakan kebutuhan hari raya. Sejak saat itu, belanja menjelang hari besar menjadi aktivitas yang semakin menonjol dalam masyarakat.
Budaya Konsumtif dan Kapitalisme: Siapa yang Diuntungkan?
Seiring dengan globalisasi dan modernisasi, kebiasaan belanja sebelum hari raya semakin mengalami komersialisasi. Peran media dan industri ritel menjadi semakin dominan dalam membentuk pola konsumsi masyarakat. Diskon besar-besaran, iklan agresif, serta berbagai strategi pemasaran menciptakan fenomena yang dikenal sebagai panic buying---kondisi di mana masyarakat merasa perlu membeli lebih banyak barang karena takut kehabisan atau ingin tampil lebih baik di hari raya.
Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga meningkat signifikan menjelang hari raya. Pada kuartal kedua tahun 2023, misalnya, konsumsi rumah tangga tumbuh hingga 5,23%, sebagian besar dipengaruhi oleh belanja Lebaran. Ini menunjukkan betapa besar dampak ekonomi dari kebiasaan ini. Namun, pertanyaannya, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan?
Jawabannya tentu saja para pelaku industri, mulai dari ritel besar, e-commerce, hingga perusahaan pakaian dan makanan. Mereka memahami pola psikologis konsumen yang cenderung lebih boros menjelang hari raya. Strategi seperti flash sale, promosi beli satu gratis satu, hingga layanan pay later semakin menggiring masyarakat untuk berbelanja lebih banyak, bahkan melebihi kebutuhan mereka. Tidak mengherankan jika fenomena ini sering kali berujung pada peningkatan utang konsumtif di masyarakat.
Aspek Sosial dan Keberlanjutan: Perlu Evaluasi?