Mohon tunggu...
Choirul Akhyar
Choirul Akhyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

an active student of public administration

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kritik terhadap Kebijakan KRIS: Kekeliruan Pemerintah dalam Upaya Mengatasi Praktik Diskriminasi Terhadap Peserta BPJS

24 Maret 2024   21:53 Diperbarui: 24 Maret 2024   22:01 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu penghapusan kelas BPJS Kesehatan telah menjadi topik hangat dalam beberapa waktu terakhir. Pemerintah memiliki rencana untuk mengubah sistem kelas (1,2, dan 3) yang ada saat ini menjadi sistem yang disebut Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Uji coba KRIS telah dilakukan oleh pemerintah di beberapa rumah sakit sejak tahun 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2025 dalam tahapan yang terencana.

KRIS merupakan inovasi terbaru yang akan diterapkan di rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk memberikan layanan rawat inap. Melalui KRIS, pemerintah berharap semua lapisan masyarakat akan diberikan perlakuan yang adil dan setara, baik dalam aspek pelayanan medis maupun non-medis. Rancangan ini sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 Ayat 4 yang menegaskan bahwa peserta yang memerlukan perawatan rawat inap di rumah sakit akan mendapat fasilitas kelas standar.

Dilansir dari cnbcindonesia.com (2023), uji coba penerapan sistem KRIS di beberapa rumah sakit telah membuahkan hasil positif, sesuai dengan yang diungkapkan oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono. Hasilnya meliputi kelancaran pelayanan kesehatan, stabilitas pendapatan rumah sakit, dan fokus pada peningkatan kualitas tempat tidur.

Namun, apakah kebijakan KRIS merupakan solusi yang tepat dari keluhan diskriminasi pelayanan belakangan ini?

Temuan Laporan di Masyarakat

Berdasarkan informasi yang ditemukan oleh Ombudsman RI (2023), terdapat peningkatan yang cukup besar dalam jumlah keluhan yang diajukan oleh masyarakat, terutama dari peserta BPJS. Pengaduan tersebut mengenai pembatasan akses layanan di beberapa fasilitas kesehatan. Ombudsman RI menjelaskan bahwa pembatasan ini terjadi karena pemberlakuan kuota di beberapa fasilitas kesehatan, yang mengakibatkan keterbatasan dalam akses layanan, baik dari segi waktu, jumlah, maupun kualitas pelayanan. Bellinda W Dewanty, Asisten Ombudsman RI, juga mengungkapkan bahwa banyak peserta BPJS yang menghadapi penolakan layanan dari fasilitas kesehatan karena kuota yang terbatas (Ombudsman, 2023). Padahal, Kemenkes dan manajemen BPJS Kesehatan mengklaim bahwa tidak ada regulasi yang mengatur pembatasan kuota tersebut.

Sementara itu, dikutip dari bbc.com (2023), salah satu pasien BPJS bernama Cahyadi, membagikan pengalamannya di salah satu fasilitas kesehatan. Cahyadi berharap untuk mengoperasi kedua anaknya yang menderita penyakit amandel. Pada tanggal 6 Februari 2023, kedua anaknya telah didaftarkan untuk menjalani operasi. Pihak faskes tersebut menjanjikan bahwa operasi akan dilakukan dalam waktu maksimal empat minggu. Namun, setelah satu bulan berlalu, Cahyadi belum menerima informasi lebih lanjut. Beberapa hari kemudian, Cahyadi menghubungi kembali untuk menanyakan kepastian operasi anaknya. Cahyadi terkejut saat mengetahui bahwa anaknya berada di urutan ke-20, meskipun sebelumnya diinformasikan bahwa anaknya berada di urutan ke-6. Akibat penundaan operasi tersebut, kondisi penyakit anaknya semakin memburuk.

Kebijakan KRIS Bukanlah Solusi Utama

Keluhan dari peserta BPJS yang disampaikan sebelumnya menunjukkan bahwa pelayanan di beberapa fasilitas kesehatan terkesan diskriminatif dan tidak memperlakukan peserta BPJS secara adil. Hal ini bertentangan dengan harapan pemerintah dalam kebijakan KRIS yang mengadvokasi perlakuan setara bagi peserta BPJS. Dalam faktanya pula, pemerintah masih belum efektif dalam melakukan pengawasan terhadap setiap fasilitas kesehatan (Ombudsman, 2023). Terlihat dari adanya indikasi bahwa sejumlah fasilitas kesehatan membuat aturan sendiri tanpa mengacu pada peraturan pemerintah yang mengatur regulasi tersebut. Ombudsman RI juga menyoroti beberapa bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan, yang mengakibatkan praktik diskriminasi dan perlakuan yang tidak setara terhadap peserta BPJS. Misalnya seperti, pengabaian hukum dan penyimpangan prosedur. Praktik-praktik inilah yang merupakan dampak dari lemahnya pengawasan pemerintah.

Oleh sebab itu, fokus utama pemerintah dalam meningkatkan mutu layanan kesehatan seharusnya bukanlah pada penghapusan sistem kelas seperti yang diusulkan dalam kebijakan KRIS. Lebih tepatnya, pemerintah perlu mengkaji ulang prioritas kebijakan yang seharusnya diutamakan berdasarkan keluhan dan kebutuhan masyarakat, terutama peserta BPJS. Peserta BPJS menginginkan akses yang sama dan tidak terdiskriminasi dalam mendapatkan layanan kesehatan di faskes, serta berharap mendapatkan perlakuan yang adil dari pihak faskes. Oleh karena itu, perhatian pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan, seharusnya difokuskan pada peningkatan pengawasan dan penegakan hukum di setiap faskes, sambil memperkuat standar pelayanan bagi peserta BPJS. Hal ini bertujuan agar pelayanan yang diberikan dapat memuaskan dan mencegah terjadinya maladministrasi yang merugikan masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun