Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pesan Buat Para Ibu yang Turut Bekerja Mencari Nafkah

12 Maret 2011   10:31 Diperbarui: 4 April 2017   16:30 15520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Coba perhatikan buku-buku pelajaran IPS maupun Bahasa Indonesia yang kita pelajari di SD dulu. Buku-buku tersebut memuat bias gender tentang peran Ayah sebagai kepala rumah tangga yang berkewajiban bekerja mencari nafkah entah pergi ke kantor maupun berladang di kebun. Sedangkan tugas ibu diceritakan belanja ke pasar, memasak, memandikan anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Stereotip pembagian peran ini yang hingga sekarang masih menancap kuat di benak saya. Namun terdapat stigma negatif kalau ibu nyuci dan memasak dianggap menjadikan istri sebagai pembantu. "Terlalu..." (kata bang haji rhoma). Konsep ini juga sebenarnya merupakan ajaran agama yang yang mengatur hak dan kewajiban suami dan istri. Firman Allah dalam Al-Baqoroh ayat 233, "...dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” Rasulullah saw juga bersabda, "Kewajiban kalian (suami) atas mereka (istri) memberikan makanan dan pakaian dengan baik." Jika seorang suami mendholimi dan mengabaikan anak dan istrinya dengan tidak memberi nafkah sesuai kemampuannya, maka secara syariat dia telah berdosa. Kata "sesuai kemampuannya" disini adalah sang suami memberikan makan dan pakaian sesuai dengan apa yang terbaik yang dimakan dan dipakai oleh anak dan istrinya. Jangan sampai sang ayah setiap hari makan nasi padang, sedangkan istri dan anaknya makan ala kadarnya. Jika sang suami membeli pakaian untuk dirinya sendiri dengan pakaian yang mewah dan mahal, sedangkan sang istri dan anak-anaknya dibelikan pakaian ala kadarnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah bin Haidah, "Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajah jangan engkau jelekkan dan jangan engkau boikot kecuali di dalam rumah." Memberi nafkah istri bukan hanya keharusan, namun juga bisa mendatangkan pahala karena itu bentuk shodaqoh yang utama seperti yg diriwayatkan oleh HR. Muslim dalam hadist "Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yg dengan engkau mengharap wajah Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengan sampaipun satu suapan yg engkau berikan ke mulut istrimu." Maka jadilah suami yang ikhlas dan tidak pelit dalam memberi nafkah istri dan anak-anaknya, hindari lebih banyak memanjakan diri sendiri walau dari penghasilannya sendiri. Jika sang suami berlaku dholim dan abai kepada istri dengan ketentuan (shighat ta’liq) diantaranya: 1. Meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut 2. Tidak memberi nafkah wajib kepadanya selama tiga bulan lamanya. 3. Menyakiti badan/jasmani istri. 4. Membiarkan (tidak memperdulikan) istri selama enam bulan. maka sang istri memiliki hak untuk menggugat cerai ke pengadilan agama (tafriq qadha’i). Jadi hati-hati bagi suami yang mengabaikan kewajibannya, karena istripun ternyata memiliki hak untuk menendang anda suami yang tidak bertanggung jawab dari kehidupannya. Seorang istripun selain punya hak juga punya kewajiban terhadap suami dan anak-anaknya dalam sebuah rumah tangga. Hak istri adalah kewajiban suami, sedangkan kewajiban istri adalah hak suami dan anak-anaknya. Kewajiban istri adalah melayani suami, menjaga harta dan kehormatan suami dan mengasuh serta membesarkan anak-anaknya. Pertanyaan Besarnya adalah, "Bagaimana jika istri juga bekerja?" Motivasi istri untuk bekerja bisa banyak hal. Yang jelas bahwa seorang istri tidak memiliki kewajiban untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan dapur keluarga. Namun di kehidupan moderen saat ini, seorang suami bisa saja mengijinkan sang istri untuk bekerja dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah: 1. Menjadikan istri sebagai pribadi yang mandiri secara finansial, sehingga ketika ditinggal oleh suami karena satu dan lain hal maka istri masih bisa survive. 2. Sebelum menikah, istri memang sudah bekerja, dan ada tanggung jawab istri untuk mendukung ekonomi keluarganya seperti menyumbang pada bapak, ibunya serta adik-adiknya. 3. Kebutuhan istri untuk aktualiasasi diri dalam membangun karier serta membangun peran di masyarakat dan kehidupan sosialnya 4. Penghasilan suami yang tidak mencukupi sehingga istri harus bekerja untuk membantu menghidupi ekonomi keluarga. Walaupun setiap suami berharap bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Situasi istri yang bekerja kadang menjadi dilematis bagi sang suami. Jika anda adalah seorang suami yang istrinya bekerja, maka ada baiknya juga untuk mendukung keinginan istri tersebut. Mendukung istri yang bekerja tidak hanya dengan cara memberi ijin saja, tetapi juga mendukung mobilitas dan perlindungan keselamatan dan kehormatannya di luar rumah. Jika perlu mengantarnya kemana saja, semampu yang bisa suami lakukan. Kepercayaan kepada istri harus diimbangi dengan kewajiban suami untuk menjaga keselamatan dan kehormatannya di luar rumah. Konflik Rumah Tangga Akibat Istri Bekerja? Peran seorang istri atau ibu yang turut bekerja mencari nafkah memang bukan tanpa konflik. Hal ini tergantung dari peran suami dan sang istri tersebut dalam memahami konsep hak dan kewajiban yang melekat pada peran mereka dalam keluarga. Beberapa konflik yang mungkin terjadi, saya jabarkan sebagai berikut: 1. Penghasilan istri lebih besar dari penghasilan suami Bisa saja sang istri terjebak pada sifat egonya. Ketika penghasilan istri lebih besar dari suami, maka istri memiliki kecenderungan merendahkan peran suami dalam keluarga. Apalagi jika sikap ini ditampakkan dalam bentuk sikap dan perkataan yang langsung menyerang sang suami. Sikap ini akan menjadi awal konflik yang efektif untuk keberlangsungan hubungan keluarga yang saling menghormati dan menyayangi. Oleh karena itu, sikap merendahkan penghasilan dan peran suami harus dihindari betapa besar penghasilan dan tingginya jabatan sang istri. Jangan sombong, karena sebenarnya Allah memberikan rejeki bagi anak-anak dan suaminya melalui sang istri, dan sekaligus menjadi ujian keimanan dan ketaqwaan bagi sang istri. 2. Pencampuran Pendapatan Istri dan Suami. Normatifnya memang seluruh pendapatan suami menjadi hak seluruh istri dan anak untuk belanja rumah tangga. Sedangkan penghasilan istri adalah hak penuh istri untuk mempergunakannya baik sebagai tambahan perekonomian keluarga maupun untuk kebutuhan dan kesenangannya secara pribadi. Namun beberapa istri berprinsip "Uangmu uangku, hutangku hutangmu." Sikap ini kurang baik menurut saya. Ingatlah wahai istri dan ibu yang bekerja, bahwa sesungguhnya suami dan anak-anakmu memiliki hak dari penghasilanmu bekerja. Ijin suami kepada seorang istri untuk bekerja, adalah bentuk kerelaan sang suami untuk melepaskan sebagian haknya untuk kepentingan sang istri dengan motif apapun. Sang ibu yang bekerja juga sebenarnya melepaskan sebagian kewajibannya untuk memelihara secara penuh anak-anaknya. Jadi seharusnya ada pertukaran antara kewajiban istri atau ibu dengan hak suami dan anak-anaknya. Jika demikian, apakah itu berarti sang ibu atau istri tersebut harus juga menafkahkan sebagian pendapatannya untuk suami dan anak-anaknya? Saya pikir itulah esensi dari bagian pertukaran hak dan kewajiban dalam keluarga. Prinsip istri yang menyatakan "uangmu uangku dan uangku ditabung sendiri" harus hasil dari kesepakatan suami dan istri tersebut. Jika suami dan istri tahu bagaimana mengelola hak dan kewajibannya dengan baik dan adil, maka Insya Allah tidak sulit mewujudkan keluarga yang sakinah Mawaddah, Wa Rahmah. Home Sweet home, rumahku surgaku. Bagaimana dengan diri saya pribadi? Saya cukup bersyukur istri saya dengan ikhlas menjaga rumah dan mengasuh kedua anak kami. Saya tidak pernah melarang istri untuk bekerja, namun biasanya saya hanya memberikan pertimbangan yang rasional. Kebetulan kami adalah keluarga mandiri yang terpisah dengan keluarga besar. Jika istri bekerja, maka itu artinya kita harus membayar gaji pembantu. Memperkerjakan pembantu juga banyak tantangannya untuk mendapatkan pembantu yang amanah dan fathonah (bisa dipercaya dan cukup pintar). Banyak kasus baby sitter atau pembantu yang memberlakukan anak asuhnya secara tidak baik seperti memukul, membentak, memberi obat tidur, dan perilaku amanah lainnya membuat saya khawatir. Saya khawatir anak menjadi korbannya. Belum lagi bayaran pembantu rumah tangga yang cukup tinggi untuk ukuran saya. Gaji pembantu untuk memasak, menyuci dan membersihkan rumah berkisar antara 500ribu hingga 600ribu. Jika istri bekerja mendapatkan gaji 1.2juta per bulan, maka hakikatnya hanya mendapat tambahan 700ribu saja.Tidak cukup signifikan untuk ditukar dengan hak anak-anak yang ditinggal bekerja oleh sang ibu. Sebelum berangkat bekerja, sambil mencium kening istri (istri sendiri ya, bukan istri orang) biasanya saya hanya minta doanya saja kepada istri, agar kalau memang Allah memberikan rejekiNya kepada istri, biar melalu ikhtiar saya saja. Karena saya yakin, penghasilan saya adalah rejeki anak dan istri saya yang Allah berikan melalui saya bekerja. Bagaimana dengan anda? --------------------------- Tulisan ini saya buat sebagai jawaban atas permasalahan seorang teman baik saya, yang Insya Allah, Allah akan memudahkan urusan keluarga mereka dalam menghadapi ujian rumah tangga di tahun pernikahan yang ke 12. Amin... ----------------------------- Sumber bacaan: http://www.ummi-online.com/artikel-34-suamiku-tak-memberi-nafkah.html http://blog.re.or.id/sedekah-yang-paling-utama.htm

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun