Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kopi Jagung Madura Nenekku

17 Mei 2015   11:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 1191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madura memang bukan penghasil kopi, namun minuman kopi rasanya sudah menjadi bagian dari tradisi di masyarakat kami. Setiap kali ada acara, kopi menjadi minuman yang disuguhkan kepada para tamu. Acara kerja bakti dan siskamling, pasti akan ada seteko besar kopi hitam seduhan, yang disajikan bersama pisang goreng dan ubi goreng. Minuman kopi juga disajikan pada acara tahlilan (doa bersama kematian) dan acara kendurian lainnya, sebagai minuman istimewa. Sepertinya, belum menghormati tamu bila tuan rumah belum menyajikan kopi.

Kopi, dalam Nuansa Mistis dan Magic

Saat saya masih di sekolah dasar, sering juga bermain di area pemakan atau bahkan pohon besar. Bubur merah, bunga, rokok dan secangkir kopi, biasa saya temui sebagai sesaji persembahan. Entah siapa yang meletakkannya. Saya juga tidak tahu sejak kapan minuman kopi menjadi bagian dari persembahan tersebut. Tentu saja, saya pun tidak berani memakan bubur dan meminum kopi tersebut. Takut terjadi sesuatu, entah kesurupan atau yang lainnya. Ya yang pasti karena bukan haknya. Belum ada jug sesaji yang menggunakan es dawet, juice atau es krim, walau saat itu sudah ada. Mengapa 'seng baurekso' suka kopi? Entahlah.

Pernah juga saya melihat pertunjukan magic saat itu. Seorang pria memakan silet dan jarum yang kemudian dibarengin dengan meminum kopi hitam. Entah benar atau tidak, katanya kopi hitam tersebut hanya kamuflase untuk menyembunyikan jarum dan potongan silet yang dia makan tersebut. Namun seolah-olah, kopi hitam menjadi pendamping dari ritual magic dan mistis, seperti yang biasa ditampilkan di film-film dahulu, kalau seorang dukun selalu meminum kopi hitam. Tidak pernah ada ditampilkan gambar adegan dukun dengan segelas susu putih  tentunya. :)

Kopi ala Keluarga Kami

Saya sering membantu nenek membuat bubuk kopi. Saat itu memang belum ada dijual kopi bubuk kemasan. Entahlah, mungkin sudah ada, namun pemasaran kopi bubuk kemasan belum menjangkau ke desa kami di pesisir selat Madura.

Kopi yang nenek buat, bukan biji kopi murni. Biasanya ada campuran berupa jagung dan karak atau nasi sisa yang dijemur kering. Saat itu, kami juga tidak begitu tahu jenis kopi apa. Saya juga tidak tahu berapa koposisi atau takaran dari masing-masing campura. Yang jelas, biji kopi tampak lebih menonjol dibandingkan butir jagung pipilan dan karak.

Setelah mencucinya, nenek mensangrai campuran kopi tersebut di sebuah kuali yang terbuat dari tanah liat. Saya membantu mengaduk isi kuali, agar biji kopi dan campuran lainnya, masak secara merata. Asap mengepul dari kayu yang dibakar yang terkadang membuat mata perih dan berair serta nafas sesak. Itu juga tergantung dari angin, sehingga saya harus berpindah tempat, untuk menghindari serbuan asap.

Aroma kopi mulai tercium saat biji kopi dan campurannya menghitam. Api tidak boleh terlalu besar, agar biji kopi bisa masak sempurna hingga ke dalamnya. Juga tidak boleh terlalu lama, karena bila sampai gosong-song, yang disapat hanya arang kopi dan bukan sangrai biji kopi. Setelah nenek bilang cukup, kuali diangkat dan menuangkan isinya ke sebuah nampan seng.

Proses berikutnya adalah menumbuk kopi. Saya menyiapkan sebuah lesung besi dengan alu besi sebagai penumbuknya. Biji kopi dan campurannya yang telah disangrai, dimasukan sedikit demi sedikit dan ditumbuk hingga halus. Kemudian, nenek mengayak dengan ayakan tepung untuk mendapatkan bubuk kopi yang siap seduh. Memang tidak selembut bubuk kopi saat ini yang dijual di pasaran. Itu mengapa, endapan kopinya juga lebih banyak saat diseduh. Gigipun akan tampak kehitaman karena meminum kopi yang ampasnya belum benar-benar mengendap. Bisa Anda bayangkan?

Apa bedanya kopi jagung nenek dengan kopi saat ini? Mengapa nenek mencampur jagung ke dalam kopi? Hingga nenek wafat, saya belum sempat menanyakannya. Apakah campuran jagung dan karak tersebut sebagai pembuat rasa khas, atau karena biji kopi mahal dan yang tersedia banyak di Madura adalah biji jangung, sehingga akan lebih banyak hasilnya bila dicampur jagung. Bayangkan kalau nenek mencampur biji kopi dengan biji durian. Pasti akan menjadi kopi dengan rasa atau aroma durian. Belum pernah ada yang mencoba kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun