Di tengah gegap gempita revolusi teknologi otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), analitik data besar (big data), laboratorium pintar (smart labs), tak sedikit orang membayangkan bahwa profesi yang dahulu dianggap “manual dan rutin”, seperti analis kimia, akan tergeser atau digantikan oleh mesin. Namun kenyataannya menunjukkan arah yang berbeda di mana evolusi teknologi tidak mencabut relevansi analis kimia, justru dalam banyak aspek, profesional ini menjadi semakin penting sebagai “jembatan intelektual” antara data dan kebijakan, antara instrumen dan makna.
Kimia sebagai “ilmu yang memungkinkan” (enabling science), artinya, banyak kemajuan teknologi, kesehatan, lingkungan, dan material bergantung pada pemahaman kimia. Menurut laporan National Academies, “chemical knowledge contributes to many diverse fields of science and technology” dan keahlian kimia tetap menjadi komponen dasar dalam proyek multidisiplin besar. Dalam berbagai produk pangan, obat-obatan, kosmetik, pengolahan air, pengujian limbah, hingga bahan baru (misalnya polimer ramah lingkungan), analisis kimia adalah tahap kritis untuk memastikan keamanan, mutu, dan efektivitas. Di Amerika Serikat, misalnya, profesi chemist dan materials scientist diproyeksikan tumbuh sekitar 5 % pada periode 2024–2034 dimana lebih cepat dari rata-rata pekerjaan umum. Hal ini menunjukkan bahwa meski otomatisasi makin berkembang, kebutuhan akan keahlian kimia tidak akan hilang dalam dekade mendatang.
Banyak orang mengira bahwa kerja analis kimia hanyalah “tekan tombol” di mesin laboratorium. Kenyataannya jauh lebih kompleks. Menurut Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), analis kimia dituntut menguasai berbagai hal diantaranya menentukan metode uji yang sesuai dengan sampel, menyiapkan sampel dan mengatasi gangguan analisis, mengoperasikan instrumen canggih seperti GC-MS, HPLC hingga spektrofotometer, melakukan validasi metode, kontrol kualitas, hingga verifikasi hasil, dan menyusun laporan teknis yang bisa dipahami oleh pihak regulator maupun industri. Dalam praktiknya, seorang analis kimia tidak hanya bekerja dengan data, tetapi juga dengan logika ilmiah, intuisi, serta tanggung jawab etika.
Sehebat apapun mesin laboratorium, ia tetaplah benda mati. Mesin bisa membaca angka, menampilkan grafik, atau memunculkan spektrum. Tetapi ketika sampel yang diuji mengandung gangguan, ketika ada interferensi dari senyawa lain, atau ketika hasil keluar di luar ekspektas atau hipotesis, mesin tidak tahu harus berbuat apa. Di sinilah analis kimia menunjukkan peran krusialnya. Dengan pengalaman dan pemahaman yang mendalam, mereka bisa menilai apakah data tersebut valid, apakah perlu dilakukan pengulangan, atau apakah metode harus disesuaikan. Kita bisa belajar dari kasus pandemi COVID-19. Banyak laboratorium di Indonesia saat itu menggunakan instrumen RT-PCR otomatis. Namun, hasil uji tetap harus dicek dan divalidasi oleh analis, karena kualitas sampel bervariasi, alat bisa error, dan interpretasi hasil sangat menentukan keputusan medis. Tanpa analis kimia (dan analis laboratorium medis), angka-angka dari mesin tidak akan bermakna.
Kini muncul tren laboratorium otomatis dengan robot untuk menyiapkan sampel, sistem informasi laboratorium (LIMS) untuk manajemen data, hingga AI yang bisa membaca pola dalam spektrum. Apakah ini ancaman? Tidak. Justru teknologi ini memperkuat peran analis kimia. Analisis kimia modern sudah menggunakan chemometrics, gabungan kimia dan ilmu data. AI bisa membantu mengolah ribuan data spektrum dalam hitungan detik, tetapi yang menentukan apakah data itu masuk akal, apakah sesuai dengan konteks, dan bagaimana langkah selanjutnya, tetap manusia. Bahkan penelitian terbaru tentang “self-driving laboratories” yang menggunakan AI untuk merencanakan eksperimen kimia masih memerlukan supervisi manusia. Karena hanya manusia yang bisa menilai apakah hasil percobaan masuk akal di dunia nyata, apakah aman, dan apakah sesuai etika.
Di Indonesia, profesi analis kimia justru semakin dibutuhkan. Banyak industri pangan, farmasi, kosmetik, hingga energi yang dituntut memenuhi standar mutu internasional. Hal ini tidak bisa hanya mengandalkan mesin. Standar seperti ISO/IEC 17025 mengharuskan adanya validasi, verifikasi, dan tanggung jawab dari analis kimia. Lebih jauh lagi, analis kimia Indonesia memiliki tantangan tambahan seperti kondisi laboratorium yang tidak merata, keterbatasan instrumen di daerah, dan regulasi yang ketat. Semua ini membuat kehadiran analis kimia tak tergantikan, peran mereka adalah penghubung antara alat, regulasi, dan kebutuhan nyata masyarakat.
Ketika dunia sibuk membicarakan AI dan robot, kita sering lupa bahwa ada profesi yang justru semakin vital di era ini. Analis kimia adalah contoh nyata. Mereka bukan sekadar pengguna instrumen, melainkan “penjaga kebenaran data”. Tanpa mereka, angka dari mesin hanyalah angka tanpa makna. Maka, alih-alih tergantikan profesi analis kimia justru akan semakin bersinar di masa depan. Sebab, dalam kimia seperti juga dalam hidup teknologi bisa membantu, tetapi manusia tetap menentukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI