Belakangan ini, muncul keprihatinan serius terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah. Alih-alih menjadi solusi atas permasalahan gizi dan stunting, program ini justru memunculkan persoalan baru: keracunan massal. Sejak awal 2025, lebih dari 6.500 orang dilaporkan menjadi korban keracunan makanan dari program ini, tersebar di sekitar 70 lokasi di seluruh Indonesia.
Yang mengejutkan, kasus terbanyak justru terjadi di Pulau Jawa, dengan lebih dari 3.600 korban di 41 lokasi. Sumatra dan wilayah lainnya pun tidak luput dari masalah serupa. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bahkan telah menetapkan 17 kejadian luar biasa (KLB) keracunan di 10 provinsi. Fakta ini menunjukkan bahwa ada kesalahan yang cukup sistemik dalam pelaksanaan program MBG.
Masalah utamanya bukan pada kandungan gizinya, tetapi pada aspek keamanan pangan yang luput dari perhatian. Makanan yang diberikan memang bergizi, tetapi proses pengolahan dan distribusinya tidak memenuhi standar higienis yang memadai. Dari bahan makanan yang tidak bersih, alat masak yang terkontaminasi, hingga penyimpanan pada suhu yang tidak tepat---semua menjadi jalur potensial masuknya bakteri berbahaya seperti Salmonella dan E. coli.
Hal ini menunjukkan bahwa makanan bergizi tidak otomatis aman dikonsumsi. Keamanan pangan harus berjalan seiring dengan kualitas gizi. Tanpa kebersihan dan proses yang benar, makanan bergizi bisa menjadi sumber penyakit. Data BPOM tahun 2024 mencatat bahwa sebagian besar kasus keracunan makanan di Indonesia disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologis. Maka, jika program sebesar MBG tidak dikelola dengan standar keamanan tinggi, risiko bencana kesehatan akan terus mengintai.
Yang patut disorot, kejadian keracunan tidak hanya terjadi di daerah pelosok atau desa-desa terpencil. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung juga mencatatkan kasus serupa. Ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak hanya soal infrastruktur atau akses, melainkan kelemahan dalam pengawasan dan koordinasi antar lembaga.
Program MBG sendiri merupakan inisiatif baik untuk mengurangi angka gizi buruk dan ketimpangan pangan. Namun, seperti banyak program besar lainnya, pelaksanaannya seringkali tergelincir oleh kurangnya kontrol kualitas. Dalam konteks ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh.
Mulai dari seleksi penyedia makanan yang memiliki sertifikasi keamanan pangan, pelatihan petugas dapur sekolah, pengawasan proses distribusi, hingga audit mendadak ke lokasi penyajian makanan. Tidak cukup hanya memastikan makanan bergizi tersedia, tetapi juga bahwa makanan tersebut layak dan aman dikonsumsi oleh anak-anak dan masyarakat.
Pemerintah juga perlu membuat protokol keamanan pangan yang ketat dan wajib diterapkan di seluruh daerah. Setiap daerah memiliki tantangan logistik yang berbeda, sehingga pengawasan tidak bisa disamaratakan. Wilayah terpencil perlu pendekatan berbeda dibandingkan daerah perkotaan. Namun, standar keamanan tidak boleh dikompromikan di mana pun.
Tak kalah penting adalah peran masyarakat. Edukasi tentang pentingnya keamanan pangan harus disebarluaskan, terutama kepada orang tua, guru, dan pengelola sekolah. Kesadaran kolektif bahwa makanan sehat juga harus aman adalah langkah awal mencegah kasus serupa terulang.
Masyarakat tidak bisa hanya bersikap pasif menerima bantuan makanan tanpa mempertanyakan kualitasnya. Orang tua harus berani bertanya, guru harus berani menolak makanan yang mencurigakan, dan pengelola harus peka terhadap keluhan siswa. Ini adalah tanggung jawab bersama.
Program seperti MBG seharusnya menjadi kebanggaan nasional, bukan momok yang menakutkan. Kita semua tentu ingin anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan kuat melalui makanan bergizi. Namun, jangan biarkan niat baik ini rusak karena kelalaian dalam aspek yang seharusnya bisa diantisipasi: keamanan.