Refleksi Diri: Kita Juga Punya Peran
Sebagai mahasiswa dan warga biasa, saya merasa museum ini bukan hanya menyoroti para pelaku besar, tapi juga mengajak kita untuk merefleksikan diri. Kita sering geram dengan koruptor miliaran atau triliunan rupiah, tapi lupa bahwa kita mungkin juga pernah "mengorupsi" waktu kerja, mencontek, atau bahkan memanipulasi laporan organisasi kampus. Itu semua adalah benih-benih korupsi yang bisa tumbuh besar jika tidak ditebang sejak dini.
Museum ini membuat saya berpikir: jangan-jangan kita sudah terlalu sering menormalisasi kebusukan dengan dalih "semua orang juga begitu." Padahal, perubahan besar hanya akan terjadi kalau kita mulai dari hal kecil seperti jujur dalam tindakan pribadi, berani menegur sesama, dan tidak diam saat ada ketidakadilan di depan mata.
Dan lebih dari itu, kita juga butuh prinsip yang kuat. Sebab ketika kita kelak berada di lingkungan kekuasaan entah sebagai pejabat, ASN, anggota DPR, atau bahkan hanya staf birokrasi biasa ada akan banyak hal yang menggoda, menekan, bahkan mengancam. Prinsip bisa digoyahkan oleh gemerlap uang triliunan, ancaman bisa datang dari mereka yang merasa terganggu, dan integritas diuji bukan oleh kata-kata, tetapi oleh kenyataan sehari-hari yang menakutkan.
Kejujuran di luar sistem hanyalah suara.Tapi kejujuran di dalam sistem adalah aksi nyata yang mengubah arah. Maka dari itu, museum ini bukan sekadar ruang pameran, tapi tempat menanam tekad: kalau nanti giliran kita yang memegang amanah, kita tidak akan jadi bagian dari masalah yang hari ini kita kecam. Kita harus menjadi generasi yang membawa perubahan menuju keadilan dan kesejahteraan, di mana korupsi tak lagi menjadi racun yang mencekik bangsa dan negara.
Kritik Provokatif yang Diperlukan
Museum Koruptor UGM memang provokatif. Tapi justru itulah nilai pentingnya. Dalam era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, kita butuh cara-cara baru untuk menyentuh hati dan logika masyarakat. Mengandalkan ceramah atau slogan tidak lagi cukup. Kita butuh ruang-ruang edukasi alternatif yang menggugah, bahkan bila perlu bisa mengguncang.
Langkah UGM ini seolah menyindir lembaga-lembaga negara yang selama ini terlalu lunak, atau bahkan enggan menyoroti wajah asli korupsi di depan publik. Padahal, edukasi hukum dan moral seharusnya dilakukan terus-menerus, bukan hanya saat menjelang pemilu atau saat skandal besar meledak.
Saatnya Museum Ini Menjadi Gerakan Nasional
Museum Koruptor bukan semata ajang seni atau proyek kampus biasa. Ini bisa jadi awal dari gerakan nasional untuk menyadarkan publik bahwa korupsi adalah musuh utama pembangunan. Saya membayangkan jika museum ini bisa dibawa keliling ke berbagai kota, sekolah, kampus, bahkan dibuat dalam bentuk digital, agar bisa dijangkau lebih luas lagi.
Saya juga berharap inisiatif ini memicu kampus-kampus lain untuk turut berani menyuarakan kritik sosial secara nyata, tidak hanya lewat jurnal atau seminar tertutup. Namun lebih dari itu, perjuangan memberantas korupsi juga membutuhkan keberanian untuk masuk ke dalam sistem.