Mohon tunggu...
Sooyaaseaa
Sooyaaseaa Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka menulis hal-hal yang kadang tidak biasa dibicarakan seperti politik, alam, mahasiswa, desain, self improvment hingga opini-opini liar tentang pergerakan dan realita hidup. Saya menulis hanya ingin mengutarakan pendapat saya disini, sejauh mana cara pikiran saya berpikir tanpa ada yang menghakimi. Tulisan saya mungkin akan memancing pertanyaan, atau bahkan membuat tidak nyaman—terutama karena saya suka sudut pandang yang tidak umum. Kadang saya takut tulisan saya dianggap salah, tapi tetap saya tulis. Karena bagi saya, diskusi yang sehat dimulai dari keberanian untuk berbeda suara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Museum Koruptor: Ketika Kampus Bicara Lebih Nyaring Dari Pemerintah

26 Juni 2025   11:49 Diperbarui: 26 Juni 2025   11:49 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : https://www.instagram.com/p/DLRZGbLRwUJ/

Refleksi Diri: Kita Juga Punya Peran

Sebagai mahasiswa dan warga biasa, saya merasa museum ini bukan hanya menyoroti para pelaku besar, tapi juga mengajak kita untuk merefleksikan diri. Kita sering geram dengan koruptor miliaran atau triliunan rupiah, tapi lupa bahwa kita mungkin juga pernah "mengorupsi" waktu kerja, mencontek, atau bahkan memanipulasi laporan organisasi kampus. Itu semua adalah benih-benih korupsi yang bisa tumbuh besar jika tidak ditebang sejak dini.

Museum ini membuat saya berpikir: jangan-jangan kita sudah terlalu sering menormalisasi kebusukan dengan dalih "semua orang juga begitu." Padahal, perubahan besar hanya akan terjadi kalau kita mulai dari hal kecil seperti jujur dalam tindakan pribadi, berani menegur sesama, dan tidak diam saat ada ketidakadilan di depan mata.

Dan lebih dari itu, kita juga butuh prinsip yang kuat. Sebab ketika kita kelak berada di lingkungan kekuasaan entah sebagai pejabat, ASN, anggota DPR, atau bahkan hanya staf birokrasi biasa ada akan banyak hal yang menggoda, menekan, bahkan mengancam. Prinsip bisa digoyahkan oleh gemerlap uang triliunan, ancaman bisa datang dari mereka yang merasa terganggu, dan integritas diuji bukan oleh kata-kata, tetapi oleh kenyataan sehari-hari yang menakutkan.

Kejujuran di luar sistem hanyalah suara.Tapi kejujuran di dalam sistem adalah aksi nyata yang mengubah arah. Maka dari itu, museum ini bukan sekadar ruang pameran, tapi tempat menanam tekad: kalau nanti giliran kita yang memegang amanah, kita tidak akan jadi bagian dari masalah yang hari ini kita kecam. Kita harus menjadi generasi yang membawa perubahan menuju keadilan dan kesejahteraan, di mana korupsi tak lagi menjadi racun yang mencekik bangsa dan negara.

Kritik Provokatif yang Diperlukan

Museum Koruptor UGM memang provokatif. Tapi justru itulah nilai pentingnya. Dalam era digital yang serba cepat dan penuh distraksi, kita butuh cara-cara baru untuk menyentuh hati dan logika masyarakat. Mengandalkan ceramah atau slogan tidak lagi cukup. Kita butuh ruang-ruang edukasi alternatif yang menggugah, bahkan bila perlu bisa mengguncang.

Langkah UGM ini seolah menyindir lembaga-lembaga negara yang selama ini terlalu lunak, atau bahkan enggan menyoroti wajah asli korupsi di depan publik. Padahal, edukasi hukum dan moral seharusnya dilakukan terus-menerus, bukan hanya saat menjelang pemilu atau saat skandal besar meledak.

Saatnya Museum Ini Menjadi Gerakan Nasional

Museum Koruptor bukan semata ajang seni atau proyek kampus biasa. Ini bisa jadi awal dari gerakan nasional untuk menyadarkan publik bahwa korupsi adalah musuh utama pembangunan. Saya membayangkan jika museum ini bisa dibawa keliling ke berbagai kota, sekolah, kampus, bahkan dibuat dalam bentuk digital, agar bisa dijangkau lebih luas lagi.

Saya juga berharap inisiatif ini memicu kampus-kampus lain untuk turut berani menyuarakan kritik sosial secara nyata, tidak hanya lewat jurnal atau seminar tertutup. Namun lebih dari itu, perjuangan memberantas korupsi juga membutuhkan keberanian untuk masuk ke dalam sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun