Dalam hal ini Bu Risma, dapat belajar banyak dari Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Jateng, yang tutur katanya terkontrol, terkendali, setidaknya diruang publik.
Soal kemudian, memarahi, mengomeli, dan menegur aparat dibawahnya, dalam ruang lingkup internal, silahkan saja, itu gaya masing-masing pemimpin wilayah.
Jabatan Walikota atau Gubernur, adalah jabatan publik, yang harus membuat kebijakan publik, dalam rangka mengatur publik, agar penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan berjalan dengan efektif dan efisien. Intinya disitu.
Oleh karena itu, lembaga tersebut bekerja sesuai dengan sistem. Darurat pun ada sistemnya yaitu _emergency system_. Ada SOP nya. Bahkan diatur dalam UU yaitu UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Penanggulangan Bencana. Bagaimana tahapan-tahapan mtigasi, kedaruratan, dan rehabilitasi dan rekontruksi yang perlu dilakukan.
Sikap Pemda Propinsi Jatim, yang tidak begitu reaktif menghadapi kondisi emosional Walikota Surabaya memang sudah tepat. Tidak perlu memanaskan suasana, yang tidak ada gunanya.Â
Ibu Khofifah Indarparawansa Gubernur Jatim, Â sudah punya jam terbang tinggi dalam menyelenggrakan pemerintah, baik sebagai Menteri (Mensos dan meneg PP), juga Ketua Organisasi Wanita Nasional, pernah sebagai anggota DPR, tentu tidak sulit menyelesaikan persoalan mobil PCR.
Para anggota DPRD baik Propinsi dan Kota Surabaya, dalam memberikan masukan, opini, dan solusi, sebaiknya jangan ditarik dari sisi pendekatan politiknya. Ini adalah kemaslahatan semua warga, tanpa melihat pandangan politik, ras dan golongannya. Tapi murmi persoalan kemanusiaan.
Coronoa virus, tidak mengenal warna politik, warna kulit, agamanya, kebangsaannya. Semua itu adalah inangnya tempat dia bermukin, dan menyiksa manusia, sampai kalau immunitas tubuhnya tidak keluar, akan menghembuskan nafas terakhir, dipangkuan sang virus. Mari kita renungkan itu.