Per Selasa, 17 Maret 2020, menurut data Kemenkes RI sudah 172 oang yang terinfeksi virus corona di seluruh wilayah Indonesia. Melonjak signifikan dari 132 kasus sehari yang lalu, dengan angka kematian 6 orang dan yang sembuh 9 orang.
Sudah dapat diduga, terbesar adalah di DKI Jakarta. Oleh karena itu Gubernur DKI Jakarta pihak yang paling disibukkan dengan wabah tersebut.Â
Ciri khas lompatan jumlah kasus tersebut persis dialami Italia 20 hari yang lalu. Lebih seram lagi analisis Deputi V BIN Mayor Jenderal TNI Afini Boer memprediksi puncaknya diperkirakan akan jatuh bulan Mei.
Dalam mendekati momentum puncak tersebut, diperkirakan akan terinfeksi dalam 1 hari 4 ribu orang. Dari mana dasar perhitungan tersebut, tentu melalui jaringan BIN yang sangat luas.
Minggu, 15 Maret 2020, Presiden Jokowi di Istana Bogor mengimbau masyarakat untuk bekerja dari rumah, beribadah di rumah, dan menyatakan bahwa kebijakan lockdown adalah kebijakan pemerintah pusat, bukan kebijakan daerah. Dan pemerintah pusat belum menjadikan lockdown sebagai alternatif solusi.
Sampai saat ini, kebijakan Presiden Jokowi masih bersifat imbauan atau ajakan. Karena sifatnya imbauan terindikasi bahwa penyelenggara pemerintah, swasta, dan masyarakat tidak mematuhi imbauan tersebut.
Gubernur DKI Jakarta Anies, berniat untuk menaati imbauan tersebut, sebagai kepala daerah yang banyak menyumbang masyarakatnya terinfeksi virus corona. Dengan cepat ia membuat kebijakan teknis operasional dengan mengurangi frekuensi lalu lintas MRT dan Trans Jakarta. Hal itu supaya masyarakat tidak melakukan perjalanan dengan transportasi umum, tidak berkumpul dalam kerumunan di terminal, halte bus, maupun stasiun kereta api.
Respons cepat Anies, rupanya tidak sama dan sebangun dengan masyarakat, pegawai pemerintah, dan swasta. Mereka semua masih terus bergerak menuju tempat kerja masing-masing, karena tidak ada kebijakan dari kantornya yang sejalan dengan imbauan Presiden Jokowi.
Sudah dapat diduga, terjadi konsentrasi manusia yang antre untuk mendapatkan transportasi umum seperti di halte bus TransJakarta, karena jumlah dan frekuensi bus berkurang. Demikian juga MRT gerbongnya berkurang, dan jarak waktu keberangkatan lebih lama.
Sudah dapat diduga berikutnya, Anies di-bully, diikuti dengan permintaan presiden agar frekuensi dan jarak waktu keberangkatan kembali seperti semula. Anies patuh, dan melaksanakan arahan presiden tersebut.
Begitulah akibatnya jika presiden membuat kebijakan bersifat imbauan. Padahal situasi sudah demikian genting, dan berkejaran dengan si virus corona yang "menari-nari" dalam tubuh manusia, sampai demam, sesak napas, paru-paru terganggu, dan jika tidak cepat diintervensi akan menyebabkan kematian.