Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pak Menkes, Masih Ada Solusi!

24 Januari 2020   21:27 Diperbarui: 24 Januari 2020   21:24 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Dr.dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad. Menteri Kesehatan yang berasal dari militer, dan satu-satunya mencapai bintang tiga (Letnan Jenderal TNI) dari semua Menkes yang berasal dari militer. 

Suatu prestasi yang luar biasa, dengan usia yang belum memasuki usia pensiun dalam dinas militer, tetapi harus pensiun karena menjadi Menteri Kesehatan.

Rupaya semua atribut yang disandang dr. Terawan, tidak mampu menyembunyikan perasaan hatinya dengan mengatakan "angkat tangan". Dalam pertempuran, angkat tangan itu simbol menyerahnya seorang prajurit.  

Dr. Terawan menyerah, ya menyerah untuk mencari solusi atas gagalnya menggunakan manfaat surplus Dana Jaminan Sosial JKN untuk PBI , untuk diberikan subsidi kepada peserta mandiri  kelas III, yang menyebabkan Ustadz Ansory Siregar, Wakil Ketua Komisi IX berteriak di sidang paripurna DPR, bahwa pemerintah berbohong.

Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto menyampaikan kekecewaannya atas kebijakan BPJS Kesehatan yang tetap menaikkan tarif iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III.

Hal tersebut disampaikan Terawan saat melakukan rapat kerja bersama dengan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris dan Komisi IX DPR, Senin (20/1/2020).

Terawan mengakui, dirinya baru mengetahui bahwa ternyata BPJS Kesehatan tidak menjalankan kebijakan sesuai yang disarankan olehnya.

"Saya resmi mendengar hari ini [Senin kemarin], sebenarnya saya hanya mendengar, terus saya gak berani mengemukakan sebelum saya yakin. Bahwa memang tidak dijalankan," kata Terawan.

"Percuma mengatakan pendapat dan tidak bisa dilaksanakan. Saya tidak punya solusi kalau tidak bisa dilaksanakan, dan saya sedih sekali," kata Terawan melanjutkan.

Terawan juga bercerita bahwa, pihaknya juga sudah berusaha untuk mencegah kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan tersebut dengan mengirimkan pesan pribadi melalui WhatsApp (WA) kepada Direktur Utama BPJS Fahmi Idris.

Dr. Terawan menyerah, tapi menyerahnya kepada Komisi IX DPR, bukan kepada Presiden Jokowi, gara-gara beliau tidak dapat memaksa Dirut BPJS Kesehatan, Profesor Dr.dr. Fachmi Idtis, M,Kes, seorang guru besar public health Universitas Sriwijaya, untuk tidak menaikkan tarif iuran kelas III mandiri. 

Sebagai seorang  eksekutif BPJS Kesehatan, yang paham betul apa yang menjadi tugas, fungsi,  dan wewenang Direksi BPJS Kesehatan  sesuai dengan UU BPJS, tidak akan berani  melampaui wewenang nya membatalkan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan yang sudah ditetapkan dalam Keppres JKN Nomor 75/2019.

Tentunya Profesor Fachmi Idris tidak mau masuk perangkap atau jebakan batman. Kalau 1 Januari 2020,  Dirut BPJS Kesehatan tidak menaikkan iuran peserta mandiri kelas III, kelas II dan kelas I, maka saat itu juga Presiden Jokowi akan dapat memberhenikan Dirut BPJS Kesehatan karena melakukan tugas yang melampaui wewenang nya. Lihat UU BPJS, Pasal 24, fungsi, tugas dan wewenang Direksi BPJS bersifat limitatif.  

Seharusnya Menkes dr.Terawan, tidak memaksa Dirut BPJS Kesehatan untuk tidak menaikkan iuran kelas III mandiri, baik secara kedinasan maupun melalui WA (japri), karena posisi Kemenkes dan BPJS Kesehatan adalah mitra yang keduanya sama-sama bergantung di leher Presiden. Sama-sama lembaga negara dengan status sama-sama badan hukum publik.

Sebab lain adalah draft Perpres JKN itu sesuai dengan Undang-Undang untuk membuat Peraturan Perundang-undangan, yang mengajukan usulan prakarsa Perpres adalah Kementerian Kesehatan sebagai leadnya. 

Kemudian dibahas antar lembaga kementerian terkait dan stakeholder lainnya.  Sampai dengan ujudnya sekarang ini menjadi Perpres  JKN Nomor 75/2019.  Jadi draft Perpres tersebut keluar dari pintu Biro Hukor (Hukum dan Organisasi) Kemenkes. Saya tidak tahu persis, apakah Pak Menkes mendalami sejauh itu.

Perpres JKN Nomor 75/2019, yang meneken adalah  Presiden Jokowi, seharusnya Menkes mengalamatkan keinginannya untuk membatalkan kenaikan iuran dimaksud kepada Presiden, baik menghadap langsung maupun via WA (japri). Kalau Presiden tidak berkenan mencabutnya, ya  dr.Terawan "menyerah" kepada Presiden, bukan pada DPR. Dengan satu syarat, jika ada keberanian.

Jangan putus asa, masih ada solusi

Menkes dr. Terawan masih ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan perdebatan kenaikan iuran JKN, khususnya kelas III mandiri. Yaitu dengan fokus pada pilihan alternatif ketiga yaitu dengan melakukan verifikasi dan validasi peserta PBI Pusat dan Daerah yang jumlahnya  133 juta peserta. Lebih dari 60% dari total peserta BPJS Kesehatan.

Dibawah koordinasi Menko PMK, duduk bersama dengan Kemensos, BPS, Bappenas, Kemenkes, Kemenkeu Kemendagri dan BPJS Kesehatan.

Bongkar habis Data Terpadu KS (DTKS) Kemenkos yang menampilkan jumlah fakir miskin dan tidak mampu 96,8 juta jiwa, dan  data penerima PBI Daerah sebanyak 37 juta jiwa. 

Lakukan verifikasi dan validasi faktual. Apa benar 133 juta penduduk tersebut memenuhi kriteria sebagai fakir miskin dan tidak mampu. Apa tidak ada yang _inclusion error_  maupun _exclusion error_. Jika ada berapa banyak, jelas _by name and by address_.

Ada kekhawatiran, bahwa yang mampu membayar JKN bersembunyi sebagai peserta PBI ( entah APBN atau APBD), yang mengakibatkan ada yang benar-benar miskin tidak punya akses untuk masuk PBI, sehingga terpaksa menjadi peserta mandiri Kelas III, dan potensial menunggak iuran.

Persoalan inilah yang penting untuk diselesaikan. Karena pemerintah melalui Bappenas sudah menyatakan bahwa penduduk miskin Indonesia 25,4 juta jiwa atau sekitar 9,41 % dari jumlah penduduk. Angka ini juga sering disebut-sebut Presiden Jokowi. Tetapi kenapa orang miskin penerima PBI (Pusat dan Daerah) 133 juta jiwa, melompat lebih 5 kali lipat.  Siapa yang bisa menjawab ini.

Beberapa orang anggota DPR Komisi IX juga sudah mendeteksi persoalan ini. Tentu  harus berkoordinasi dengan Komisis VIII DPR, mitra Kemensos.

Jadi Menkes dr.Terawan, jangan dulu menyerah. Di tentara itu ada motto: _biarlah mandi keringat dalam latihan  dari pada mandi darah dalam pertempuran. 

Memang Menkes harus bekerja keras sampai berkeringat untuk mengajak Mensos, Mendagri,  Bappenas, BPS untuk bersih-bersih data PBI yang 133 juta tersebut, supaya tidak  semakin membesar iuran JKN nya, yang berakibat menggerogoti besaran belanja APBN sektor kesehatan.  

Cibubur, 21 Januari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun