Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tata Kelola Obat dalam Sorotan KPK

1 Februari 2019   01:20 Diperbarui: 1 Februari 2019   13:32 599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Terkait penggunaan e-catalogue sebagai pengontrol harga obat masih belum optimal. Dinas Kesehatan yang menggunakan sekitar 89%, RS Pemerintah baru sekitar 33%. Di dunia industri farmasi saling menerkam, persaingan ketat  dan berimplikasi tingginya marketing fee. Komponen biaya promosi bisa sampai 40% dari biaya produksi,  ini salah satu penyebab mahalnya harga obat.

Dalam berbagai kesempatan diskusi di lingkungan farmasis, pertanyaan yang muncul adalah banyaknya titik-titik rawan korupsi dan permasalahan pada sistem tata kelola obat dalam era JKN.

Secara sederhana siklus regulasi  pengelolaan obat itu melalui tahap penyusunan rencana kebutuhan obat, dilanjutkan dengan pengadaan,  pembelanjaan, kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi sebagai masukan untuk perencanaan selanjutnya.

Untuk mengetahui berbagai hal terkait dengan Tata Kelola Obat dalam JKN, KPK telah melakukan penelitian  (sampling) di 3 Instansi Pusat (Kemenkes, LKPP, BPOM), ada 7 Dinas kesehatan Kabupaten (wilayah Timur, Jawa dan Sumatera), dan 14 Puskesmas ( wilayah Timur, Jawa dan Sumatera), dan 2 Industri Farmasi BUMN (KF, dan Indo Farma), serta 5 Apotik. Dari berbagai hasil penelitian yang bersifat sampling tersebut, dapat diperoleh gambaran berikut ini bagaimana situasi pengelolaan obat dilakukan oleh stakeholder yang terkait.

UU SJSN Nomor 40 tahun 2004, mengamanatkan pada pasal 25   " Daftar dan harga obat serta barang medis habis pakai yang dijamin BPJS ditetapkan pemerintah".  Kita simak UU 36/2009 tentang Kesehatan, Pasal 36 " Pemerintah menjamin ketersediaan, pemeratan dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial".  Dan pasal 40: "Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat". 

Di samping itu, SJSN juga mengamanatkan kendali biaya dan kendali mutu  dalam penggunaan obat dan barang medis habis pakai  dengan melahirkan Formularium Nasional (FORNAS) sebagai penetapan jenis berdasarkan kriteria pemilihan obat, dan e-catalogue yaitu penetapan harga berdasarkan hasil lelang dan negosiasi secara elektronik.  Hasilnya tentu tersedianya obat yang aman, bermutu, berkhasiat,  dan Cost  effectifeness.

Berbicara obat, ada dikenal dua jenis obat yang beredar di Indonesia. Pertama disebut obat Paten, dan kedua disebut obat Generik. Obat generik ada yang branded (berlogo), dan generik biasa. Generik berlogo ini mainan industri saja supaya harga dapat di bandrol lebih tinggi dari obat generik biasa, karena tidak rela harga meluncur bebas dari obat Patent menjadi obat  Generik.

Bagaimana obat Paten diproduksi. Tentu melalui proses research yang lama dan mahal serta dengan invention yaitu suatu formula obat yang spesifik sehingga obat mempunyai khasiat unggul untuk penyakit tertentu.

Menurut ketentuan yang umum di dunia, masa habis paten antara 15-20 tahun, sesudah itu menjadi obat originator. Sederhananya obat Paten yang sudah habis masa patennya, bisa menjadi obat generik yaitu obat yang tidak mempunyai nama paten tapi langsung menyebut nama komposisi obat  yang memberi efek terapi sebagai nama obat. 

Sebagai contoh, Levofloxacin merupakan obat golongan antibiotik quinolone. Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi bakteri seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, sinusitis, infeksi kulit, jaringan lunak, dan infeksi prostat. Levofloxacin bekerja dengan cara menghambat duplikasi DNA bakteri sehingga mencegah perkembangannya. Harganya  Rp. 1.240, per tablet. 

Sedangkan dalam bentuk Brande Generic ( Generik berlogo), dengan nama obat Levoxal bisa mencapai Rp. 36.760 per tablet. Dan dengan istilah obat Originator dengan nama obat Cravit bisa mencapai Rp. 47.500.- per tablet. Very  fantastic.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun