Para fan Indonesia sungguh berharap Garuda Asia di bawah asuhan Bima Sakti bisa menjaga tren positif sejak laga pertama. Bila tak sanggup mewujudkan misi sapu bersih, setidaknya cukup dengan menahan imbang.
Satu poin saja sudah cukup bagi Indonesia untuk mengunci pemuncak grup dan memberi sang rival bebuyutan perasaan "harap-harap cemas" yang dalam untuk menantikan apakah mereka bisa kebagian satu dari enam tiket lolos via runner-up terbaik.
Ternyata skenario indah itu bertepuk sebelah tangan. Tidak ada satu poin hari ini. Yang ada adalah kekalahan mencolok yang mengirim tim muda Indonesia dalam situasi gundah gulana, berharap masih bisa lolos melalui pintu terakhir.
Lantas, apa yang membuat target itu tak bisa digapai? Adakah yang salah dengan performa Garuda Asia di laga pamungkas grup ini?
Kekalahan itu jelas menunjukkan sejumlah titik lemah tim racikan Bima Sakti. Dihancurkan negara tetangga dalam tempo 30 menit, serentak meluluhlantahkan segenap puja-puji yang mengiringi hasil gemilang sejak pertandingan pembuka menghadapi Guam.
Saya melihat sekurang-kurangnya ada empat pelajaran penting.Â
Pertama, Indonesia yang tampil dengan formasi andalan 4-1-4-1 sesungguhnya mengawali pertandingan dengan meyakinkan. Beberapa peluang emas langsung tercipta melalui skema serangan cepat dan kombinasi umpan-umpan pendek.
Sayangnya, kesempatan emas yang gagal dimanfaatkan sebelum 15 menit laga berjalan kemudian hanya menjadi pelipur lara.
Malaysia dengan jeli membaca titik lemah tuan rumah. Mereka seperti menanti kapan Indonesia mulai kehilangan kendali. Serangan cepat memanfaatkan kelengahan dan rapuhnya barisan belakang adalah senjata yang terbukti ampuh.
Mula-mula di menit ke-19, saat Muhammad Zainurkhakimi Zain yang berapa di titik yang tepat untuk menyambut umpan ke tiang jauh.
Gol itu sungguh mengguncang mental dan semangat Garuda Asia. Tak butuh waktu lama bagi Harimau Muda untuk menggandakan keunggulan. Semenit berselang, Muhammad Arami Wafiy sukses mengkonversi serangan balik yang dibangun dengan apik.