Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balada Pekan Suci di NTT, Setelah Yesus Bangkit, Pohon Tumbang, dan Banjir Bandang

4 April 2021   14:41 Diperbarui: 5 April 2021   08:29 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Waowala, Kecamatan Ile Ape, Kab. Lembata, NTT, pascabanjir dari arah Gunung Ile Lewotolok, Minggu (4/4/2021) (TRIBUNNEWS.COM via POS-KUPANG/ISTIMEWA)

Kita tentu bertanya, mengapa sampai terjadi banjir bandang dan rob yang hebat? Mengapa sampai rumah-rumah warga harus terendam? Mengapa sungai meluap, saluran dan drainase tak kuat menampung? Apakah semata-mata karena curah hujan tak terkontrol? Apakah alam yang patut disalahkan?

Kita tentu tidak sedang menggugat Tuhan atas semua bencana yang terjadi. Yang patut kita buat adalah bertanya dan memperbaiki diri. Apa yang salah dengan relasi saya selama ini? Apa yang seharusnya saya perbaiki? Langkah adaptasi dan mitigasi seperti apa yang patut ditempuh?

Pertama, patut diakui sejumlah wilayah hutan mengalami kerusakan parah. Penebangan pohon secara liar dan penggundulan hutan yang ekploitatif masih merajalela. Hal ini mengakibatkan areal hutan sebagai tangkapan air berkurang drastis. Fenomena itu di antaranya terjadi di Kabupaten Sikka seperti penuturan penuturan Sekretaris Forum Peduli Penanggulangan Bencana (FPPB) Kabupaten Sikka, Yuven Wangge kepada Mongabay Indonesia (28/1/2021).

Kedua, sistem ladang berpindah dan lahan pertanian yang tidak lagi menggunakan sistem terasering bisa memperparah situasi. Air hujan tak lagi ditahan sehingga lansung meresap ke tanah.

UPT KPH Kab. Sikka, NTT  melakukan pengecekan lokasi kebakaran di Dusun Kolibuluk, Desa Hoder, Kec. Waigete, Kab. Sikka, NTT: Ebed de Rosary/Mongabay 
UPT KPH Kab. Sikka, NTT  melakukan pengecekan lokasi kebakaran di Dusun Kolibuluk, Desa Hoder, Kec. Waigete, Kab. Sikka, NTT: Ebed de Rosary/Mongabay 

Ketiga, pembangunan yang tidak memperhatikan kearifan dan daya dukung lingkungan. Ekploitasi hutan dan kawasan sumber daya air. Pembangunan pemukiman di daerah rawan longsor. Tidak memperhatikan pentingnya ruang terbuka hijau.

Keempat, saluran yang tak dijaga dengan baik dan kebiasaan tidak membuang sampah pada tempatnya. Saat curah hujan tinggi menerjang, terlihat saluran seperti kewalahan menangkupnya. Parahnya lagi, bukan karena ukurannya yang kurang memadai, tetapi kehadiran sampah-sampah yang menyempitkan saluran. Apakah sampah-sampah itu terhanyut karena arus air yang deras? Atau memang selama ini sampah-sampah itu dibuang tidak pada tempatnya?

Untuk itu, perlu diperhatikan rehabilitasi daerah tangkapan air seperti di kawasan hutan dengan melakukan penghijauan. Menggalakkan kembali sistem terasering. Menghentikan penebangan liar. Meningkatkan upaya konservasi kawasan pesisir. Hingga memasifkan kembali kampanye pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.

NTT itu luas. Topografi menantang. Soalnya pun kompleks. Kondisi sosial-ekonomi utamanya, hampir tak jauh berbeda antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Jelas, ini menjadi urusan yang tak kalah penting, bahkan sudah menjadi keprihatinan turun temurun. 

Bangkit bersama Kristus

Yesus bangkit sebagai puncak Pekan Suci, jelas. Setelah disalibkan, wafat, lantas bangkit pada hari ketiga. Kebangkitan yang menjadi tanda keilahianNya yang melampaui kemanusiaan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun