Kemiskinan bukan sekadar angka di laporan ekonomi, tetapi realitas pahit yang dialami jutaan rakyat Indonesia setiap hari. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai sekitar 25,9 juta jiwa, atau 9,36% dari total populasi. Namun, angka ini hanyalah puncak gunung es. Masih banyak masyarakat yang hidup dalam kondisi rentan, terjebak dalam siklus kemiskinan yang terus berulang dari generasi ke generasi. Inilah yang disebut sebagai kemiskinan terstruktur, sebuah kondisi di mana sistem sosial, ekonomi, dan kebijakan negara secara tidak langsung mempersulit masyarakat untuk keluar dari kemiskinan.Salah satu faktor utama yang menyebabkan kemiskinan terstruktur adalah ketimpangan akses terhadap pendidikan. Di Indonesia, anak-anak dari keluarga miskin sering kali kesulitan mendapatkan pendidikan berkualitas karena biaya yang masih menjadi beban berat. Meski pemerintah telah menyediakan program wajib belajar dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), kenyataannya banyak anak yang putus sekolah akibat tekanan ekonomi keluarga. Di daerah terpencil, keterbatasan tenaga pengajar, fasilitas yang buruk, serta akses transportasi yang sulit semakin memperkecil peluang mereka untuk mendapatkan pendidikan layak. Akibatnya, tanpa pendidikan yang cukup, mereka sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang memadai, dan lingkaran kemiskinan pun terus berlanjut.
Pasar tenaga kerja yang tidak adil juga menjadi faktor utama dalam kemiskinan terstruktur. Banyak masyarakat miskin hanya bisa bekerja di sektor informal dengan upah rendah dan tanpa jaminan sosial. Menurut data BPS, lebih dari 58% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal, seperti buruh harian, pedagang kecil, atau pekerja tanpa kontrak. Tanpa perlindungan tenaga kerja yang memadai, mereka rentan kehilangan penghasilan sewaktu-waktu, terutama saat terjadi krisis ekonomi. Sementara itu, akses untuk mendapatkan pekerjaan formal sering kali lebih mudah bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi atau koneksi sosial yang kuat, mempertegas adanya kesenjangan kesempatan di dunia kerja.
Selain itu, kebijakan ekonomi dan pembangunan yang belum merata turut memperparah kemiskinan terstruktur. Selama bertahun-tahun, pembangunan ekonomi lebih terpusat di kota-kota besar, meninggalkan daerah pedesaan dan wilayah tertinggal dalam ketertinggalan. Masyarakat yang tinggal di desa sering kali kesulitan mendapatkan akses terhadap infrastruktur dasar, seperti jalan, listrik, air bersih, serta layanan kesehatan dan pendidikan. Ketimpangan ini membuat mereka semakin sulit bersaing dengan penduduk perkotaan dalam hal mencari pekerjaan atau mengembangkan usaha.
Dalam konteks ekonomi, ketimpangan akses terhadap modal dan sumber daya menjadi tantangan besar bagi masyarakat miskin yang ingin memperbaiki taraf hidupnya. Bank dan lembaga keuangan sering kali menetapkan syarat pinjaman yang sulit dijangkau oleh rakyat kecil, seperti jaminan aset atau dokumen resmi. Padahal, banyak masyarakat miskin memiliki potensi untuk berwirausaha jika diberikan modal yang cukup. Sayangnya, mereka justru terjebak dalam skema pinjaman ilegal dengan bunga tinggi yang semakin membebani kondisi ekonomi mereka.
Di sisi lain, rendahnya perlindungan sosial bagi masyarakat miskin membuat mereka semakin rentan terhadap perubahan ekonomi. Program bantuan sosial seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan bansos lainnya memang membantu dalam jangka pendek, tetapi belum mampu memberikan solusi jangka panjang untuk mengangkat masyarakat keluar dari kemiskinan. Ketika harga kebutuhan pokok naik akibat inflasi, daya beli masyarakat miskin semakin tergerus, membuat mereka semakin sulit mencukupi kebutuhan dasar.
Mengatasi kemiskinan terstruktur bukan sekadar tentang memberikan bantuan, tetapi juga mengubah sistem yang selama ini menciptakan ketimpangan. Pemerintah perlu memastikan akses pendidikan yang benar-benar merata, membuka lebih banyak peluang kerja layak, serta memperbaiki sistem jaminan sosial agar masyarakat miskin tidak selalu berada dalam posisi yang rentan. Selain itu, kebijakan ekonomi harus lebih berpihak pada rakyat kecil, misalnya dengan memperbanyak program pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, mempermudah akses permodalan bagi UMKM, serta memastikan bahwa pembangunan dilakukan secara merata, tidak hanya di kota besar tetapi juga di daerah terpencil.
Kemiskinan terstruktur bukanlah sekadar nasib, melainkan hasil dari sistem yang dapat diperbaiki. Jika negara serius dalam menciptakan kebijakan yang lebih adil, maka jutaan rakyat Indonesia yang saat ini terjebak dalam kemiskinan memiliki peluang nyata untuk keluar dari jerat ini. Saatnya membangun Indonesia yang lebih inklusif, di mana setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI