Melarang wartwan bertanya bukan sekadar pelanggaran administratif. Itu adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap demokrasi. Pertanyaan adalah nyawa Jurnalistik. Ketika pertanyaan dibungkam, maka publik kehilangan hak untuk tahu, dan kekuasaan kehilangan cermin untuk introspeksi.
Kasus yang menimpa Jurnalis CNN Indonesia, Diana Vakencia, pada sabtu 29 September 2025 jelas telah mencederai demokrasi dan kebebasan pers di negeri ini. Bermula dari pertanyaan reporter CNN yang bertanya pada Presiden Prabowo tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan diberitakan telah menyebabkan banyak anak-anak Indonesia keracunan karena mengkonsumsi makanan gratis itu. Diana bertanya dalam momen kepulangan Presiden usai kunjungan luar negeri, di Pangkalan Udara Halim Perdanakususma. Presiden pun menjawab dengan lugas seperti tampak di video yang beredar, Presiden bilang akan segera memanggil Kepala badan Gizi Nasional untuk mengklarifikasi hal tersebut.Â
Namun, beberapa waktu setelahnya Biro Pers istana membuat broadcast yang menyebut bahwa pertanyaan Diana itu di luar konteks acara penyambutan Presiden. Lalu, menurut Titin Rosmasari, Pimpinan CNN Indonesia, pada sabtu itu juga pukul 18.15 WIB, seorang petugas Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden (BPMI) mendatangi kantor CNN Indonesia dan mengambil ID Pers Diana. Disebutkan, alasan pengambilan ID Istana itu berkaitan dengan pertanyaan Diana terkait MBG yang sedang jadi sorotan pemberitaan.Â
Mengecam & Menuntut BPMI
Respon atas tindakan BPMI itu memicu kecaman dari berbagai pihak, antara lain organisasi pers AJI Jakarta, LBH Pers, Forum Pemred, IJT, juga Dewan Pers. Dan tentu saja mendapat respon menohok dari netijen.Â
AJI Jakarta dan LBH Pers, menilai langkah itu sebagai bentuk pembungkaman kerja Jurnalistik. Menghalangi kerja jurnalistik bisa dipidana 2 tahun penjara dan denda hingga Rp 500 juta, sesuai UU Pers. Forum Pemred dan IJTI, kemudian meminta penjelasan terbuka dan mengingatkan kembali ancaman bagi pihak yang menghalangi kerja pers ini. Sedangkan Dewan Pers meminta pihak Istana mengembalikan akses peliputan Jurnalis CNN yang dicabut itu.
No viral no justice. Hari ini viral di sosial media setelah Diana menyampaikan kejadian yang menimpanya di media sosial. Termasuk juga pihak CNN Indonesia melayangkan surat resmi atas tindakan pencabutan ID itu. Dan tentu saja menjadi sorotan berbagai media lainnya. Alhasil, hari ini, senin 29 September 2025, ID Diana telah dikembalikan oleh BPMI, diikuti dengan permintaan maaf dan penyesalan.Â
Komentar netijen tentu saja menarik pula untuk diperhatikan merespon pengembalian ID dan penyesalan itu. Seperti disampaikan @rinaldiahmad pada postingan narasinewsroom : kok bisa2nya nanya masalah negara ke pemimpin negara disebut di luar konteks? Lalu, @anonwgama : Yang jadi pertanyaan: itu yang tiba2 ke kantor CNN dan ngambil IS nya itu atas instruksi siapa? Lebih keras lagi sorotan pada pegawai BPMI disampaikan oleh @aureliusteluma : Sok kuasa Biro Pers-nya. Memalukan pakai nama 'PERS' di nama biro itu. Hapus saja kata 'Pers' di biro itu jika kalian tak tahu esensi kerja pers!
Benar adanya yang menyebut bahwa mereka mengurus negara ini secara ecek-ecek. Banyak orang yang menduduki jabatan di negeri ii sebetulnya tak memiliki kapasitas yang mumpuni. Tatatan dirusak, aturan dilanggar, bahkan mereka dengan semena-mena berani melanggar UU Pers. Demokrasi yang telah dengan susah payah dibangun, lalu mereka yang telah melanggar dan merusaknya hanya meminta maaf dan menyesal. Tidakkah ada keberanian akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan hukum?Â
Rasanya mereka tak memiliki keberanian dan sikap gentleman seperti itu. Apalagi berharap sikap negarawan, kiranya itu mimpi. Bila tuntutan tak dilanjutkan, penulis yakin, mereka akan berusaha membuat publik melupakan pelanggaran berat ini, dan terus berupaya  mempertahankan jabatan yang jelas-jelas tidak bisa dilaksanakannya secara amanah. Â