Mohon tunggu...
Chairil Anwar B.
Chairil Anwar B. Mohon Tunggu... Buruh - Pekerja Kasar

Dilihat dari sisi manapun, rasanya tak ada yang menarik dari diri saya. Karena itu, ada baiknya bila saya abaikan saja bagian ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup Ini Keras

26 Januari 2023   20:36 Diperbarui: 26 Januari 2023   20:38 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Hidup ini keras," ucap seorang guru ketika, pada suatu pagi yang cerah, menertibkan para siswa di lapangan upacara. Semua yang hadir di tempat itu tahu; begitu Pak Arman sudah angkat bicara, itu pertanda bahwa mereka harus memelankan suara, mengembalikan ingatan yang masih terserak di mana-mana ke tengah lapangan. Tapi di antara semua siswa yang berbaris itu, hanya Fulan yang benar-benar merekam kata 'keras' tadi dan menyimpannya begitu dalam, terlalu dalam hingga ia sendiri kembali merasakannya.

Ia siswa kelas XI IPS 1, bertubuh kecil, dengan rambut yang disisir rapi ke samping, dan selalu memasukkan bajunya ke dalam celana. Tindak-tanduknya biasa saja. Tak ada yang mencolok dari lelaki ini. Ia juga dikenal pendiam.

Sialnya, sifat dan bentuk fisik itulah yang justru membuat Fulan menjadi bahan bullyan -- beberapa siswa sering memukulinya meski ia tak pernah berbuat salah kepada mereka.

"Ia hanya menyebalkan," kata salah seorang.

"Wajahnya tampak tolol," kata yang lain.

Namun yang sesungguhnya membuat Fulan merasa hidup begitu keras bukanlah pukulan atau tendangan yang tak sepantasnya ia terima, melainkan sikap tak acuh yang dipertontonkan oleh para guru dan teman-temannya.

"Aku merasa tak seorang pun di sekolah ini yang peduli padaku", katanya.

Para guru memang memasang spanduk besar dan mengkampanyekan sikap anti bullying, tetapi mereka tak benar-benar memerhatikan setiap siswa, tak ingin melihat ke dalam, lebih dalam, tempat di mana lelaki kecil dengan tulang pipi menyembul seperti Fulan menyimpan kata 'keras'.

Akhirnya, pada suatu hari, ketika udara panas melintas di halam sekolah yang berpasir putih itu, ketika daun-daun bergoyang dipukul angin Utara, ketika burung-burung gereja melompat-lompat di antara ranting pohon Ketapang, Fulan berjalan meninggalkan kelas, menyusuri tiap jendela dan pintu dengan langkah yang nyaris tak terdengar. Ia juga tak menoleh kepada siapapun, sebab ia yakin; "Tak ada yang peduli padaku".

Sejak itu, Fulan tak pernah lagi muncul di sekolah.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun